This interactive crossword puzzle requires JavaScript and any recent web browser, including Windows Internet Explorer, Mozilla Firefox, Google Chrome, or Apple Safari. If you have disabled web page scripting, please re-enable it and refresh the page. If this web page is saved on your computer, you may need to click the yellow Information Bar at the top or bottom of the page to allow the puzzle to load.
CONTENT 1 The website is still under construction (LEONARDO TPBLN) Thanks
CONTENT 2 The website is still under construction (LEONARDO TPBLN) Thanks
CONTENT 3 The website is still under construction (LEONARDO TPBLN) Thanks
CONTENT 4 The website is still under construction (LEONARDO TPBLN) Thanks
CONTENT 5 The website is still under construction (LEONARDO TPBLN) Thanks
CONTENT 6 The website is still under construction (LEONARDO TPBLN) Thanks

Aksara Batak

Sebelum aksara Batak yang dikomputerkan dulu pernah ada huruf cetakan yang digunakan oleh berbagai penerbit di Amsterdam, Wuppertal, Batavia, dan Laguboti untuk mencetak surat Batak versi Toba. Berikut ini jenis-jenis huruf yang pernah digunakan oleh pihak zending di Jerman (Elberfeld), di Tanah Batak (Laguboti) maupun oleh Landsdrukkerij atau percetakan negeri (Batavia). Tentu saja yang dipakai oleh percetakan adalah bentuk yang sudah distandardisasi sementara dalam naskah-naskah asli terdapat keragaman pada bentuk yang diakibatkan oleh berlainan daerah (misalnya Silindung, Humbang, Toba, Uluan, Samosir, dsb) dan berlainan tradisi yang diturunkan oleh para datu yang menjadi ahli aksara dalam masyarakat Batak tempo dulu.
Tabel berikut membandingkan huruf cetakan zending dengan huruf yang terdapat dalam pustaha:
Huruf Cetakan Zending & Landsdrukkerij
Mari berikut ini kita simak berbagai varian aksara Batak Toba yang saya ambil dari enam pustaha yang ditulis oleh enam orang yang berbeda dan yang berasal dari enam daerah yang berbeda di Toba, Samosir, dan Silindung. Keenam pustaha dibandingkan dengan Font Aksara Batak yang diciptakan oleh Uli Kozok:

Perbedaan Font Komputer dengan huruf cetakan Zending dan Landsdrukkerij tidak terlalu menonjol, akan tetapi terdapat beberapa kejanggalan: Na versi Laguboti memiliki ekor ke kanan yang terlalu panjang sementara bundaran pada ketiga huruf cetakan terlalu kecil. Kejanggalan itu diperbaiki pada font komputer.
Pada aksara Ta terdapat dua bentuk yang kira-kira sama umum dapat ditemukan pada naskah Toba: yaitu ta-utara dan ta-selatan . Bentuknya ta-utara sama dengan ta di Pakpak dan Karo, sementara ta-selatan sama bentuknya dengan ta di Angkola, Mandailing dan di Simalungun. Zending dan Landsdrukkerij hanya menggunakan ta-selatan sebagai bentuk “baku” untuk Toba, sementara Font Komputer menawarkan kedua varian.
Aksara MA yang digunakan oleh Landsdrukkerij Batavia merupakan bentuk yang sangat disederhanakan  dan yang hanya ditemukan di Mandailing. Di Toba bentuk ini tidak dapat ditemukan. Bentuk huruf Ma diperbaiki sedemikian rupa pada font komputer sehingga paling sesuai dengan bentuk yang paling sering ditemukan pada pustaha-pustaha Batak.
Huruf cetakan Zending dan Landsdrukkerij, walaupun tidak sepenuhnya memuaskan, masih jauh lebih baik daripada nasib yang menimpa aksara Batak di zaman kemerdekaan.
Huruf cetakan zending hilang selama perang dunia ke-2 dan terpaksa orang kembali menggunakan tulisan tangan. Masalahnya pada waktu itu sudah tidak ada lagi orang yang masih betul-betul menguasai tradisi menulis dengan aksara Batak. Hasilnya betul-betul menyedihkan:
Ada beberapa buku sekolah yang mengajarkan bentuk-bentuk aksara “Toba” yang serba aneh dan sama sekali berbeda dengan naskah-naskah asli. Hurufnya cuga lebih dekat ke Mandailign daripada Toba. Aksara juga berbeda-beda tergantung pada penulisnya. Jadi para siswa yang mempelajari aksara Batak di sekolah tidak sanggup membaca naskah Toba karena aksaranya sudah berbeda total. Yang juga sangat mengganggu adalah keindahan aksara asli Batak yang sudah hilang sama sekali. Huruf-huruf baru yang diciptakan oleh berbagai pengarang (dan tentu saja semua klaim keaslian aksara yang mereka ciptakan) kehilangan proporsi dan kesimbangannya.
Kalau Anda mau melihat contoh yang betul-betul luar biasa jelek dan aneh lihat tabel “Aksara Daerah” pada halaman 1341 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke-3, 2002.
Nah, itu hanya sala satu dari puluhan versi “aksara Batak” yang beredar pada saat itu (dan sampai sekarang masih beredar) dan keadaannya menjadi betul-betul tidak karuan dan sangat memprihatinkan. Unsur seninya juga hilang sama sekali. Ini sebuah contoh aksara yang tidak karuan (dan juga mengandung sejumlah kesalahan karena penulisnya tidak betul-betul memahami sistem tulisan Batak). Sebelah kanan tampak versi yang sudah diperbaiki dan yang sudah benar aksara Bataknya:
Untuk mengembalikan estetika huruf Batak yang asli, dan untuk memberdayakan siswa agar mereka bisa membaca naskah-naskah asli Batak maka kami ciptakan font Batak yang memang 100% sesuai dengan huruf Batak seperti yang ada di naskah. Font komputer itu diciptakan setelah diadakan pemetaan aksara yang terdapat pada 100 naskah Batak. Bentuk yang paling sering dipakai lalu digunakan dalam font Toba, sementara untuk font Mandiling dipilih varian yang paling umum di Mandailing dsb. Pada penciptaan Font Kompter kami usahakan untuk menjaga keseimbangan, terutama keseimbangan antara ina dan anak ni surat.

MULA NI GORGA BATAK


Dung mardongan saripe Datu Gombut nabolon dohot Siboru Jongjong Anian Siboru Tibal Tudoson, tubu ma buhabajuna, PUSTAHA (Parbinotoan Hadatuon Partungkangon) Anggir, Lada, dohot Napuran. Di urang paduahon, tubu ma muse parhobas tonun dohot Parbinotoan ragi (Sirat, Uhir) dohot rupa ni bonang dohot ulos.
Patolu halihon, ditubuhon ma dakdanak na marporhas sada anak, sada boru, ima: Si Aji Donda Hatahutan dohot Siboru Sopak Nauasan manang: Siboru Sopak Panaluan. Dung magodang dak-danak nadua i, di pasahat Datu Gombut ma tuanakna i boha isara martungkang na taho jala jago, salpu i pe asa dipasahat pustaha, (urang na parjolo) na so tolap binungkana i. Ai ingkon si Aji Donda Hatahutan do naboi mangungkap pustaha i.
Mulai sian ombas i ma gabe halak namalo martungkang, anakna on ala adong di ibana sahala pande, songon i nang Siboru Sopak Panaluan na manean hamaloon martonun, partonun nautusan na mangantusi ragi ni ulos rodi rumangna. Nasahali, uju martonun siboru, na so panagamanna marsirahutan jala marsiranggingan ma angka bonang na marbolongan na tarbuang i, gabe martompa gurit lontik na tudos tu lopian parjolo di pustaha tinean ni ibotona i. Impol ma roha dohot mata ni si baoa on tusi, laos hatop ma i di uhirhon dohot piso na tajom tu dorpi jolo bagasnasida. Ujungna gok gorga ma dinding ni jabunasida i. Sogo do antong roha ni siboru, digasgas ni ibotona pande ruma i. Lobi muse dope jut ni roha ni nagodangna, Datu Gombut. Di rohana nungnga na hasoropan anakna i mangulahon gas-gas ni tanganna i. Martahi ma nasida, mangusir tondi na hodar sian anak na i. Dung di pahembang lage-lage, tiar diparade ma saoan pangurasan (marisi aek, dohot untemungkur) daupa (haminjon natinutung dohot gara ni api) ipe asa disuru si Aji Donda Hatahutan, hundul di lage-lage tiar i. Martonggo ma Datu Gombut tu Mulajadi Nabolon asa di usir tondi nahodar sian si Aji Donda Hatahutan, hape tompu mahasoropan anak na i. Disuru hasandaran i ma amana, papunguhon nasa ula-ula dohot parhau laho pajongjongkon sada ruma bolon.
Diuhir ibana ma denggan, ipe asa dipajonjong ruma gorga dohot sahala pande ruma nabinotona. Tarida ma disi ragam ni gorga pea, silunduni pahu, ipon-ipon, hoda-hoda, adop-adop, desa naualu, bindu natonga. Dipudian ni ari tamba muse dohot singa-singa, boras pati, jaga dompak, jorngom-jorngom, jenggar, parhis marodor.

sejarah suku batak


Sebenarnya beberapa versi menghiasi sejarah tentang asal usul suku Batak. Singkatnya salah satu versi itu dapat dijelaskan begini :
Suku Batak itu berasal dari Thailand, terus ke Semenanjung Malaysia lalu menyeberang ke Sumatera dan menghuni Sianjur Mula Mula, daerah pinggiran Danau Toba, lebih kurang delapan kilometer arah barat Pangururan, Kabupaten Toba Samosir.
Namun kalo itu tidak cukup, maka beginilah penjelasannya :
Suku bangsa Batak itu adalah Proto Malayan, sama seperti suku bangsa Toraja. Mungkin ini adalah salah satu jawaban kok beberapa bahasa Toraja itu mirip dengan bahasa Batak. Sedangkan Neo Malayan itu turunannya adalah suku-suku bangsa Jawa, Bugis, Aceh, Minangkabau, Sunda, Madura dan sebagainya.
Jadi gitu, Suku bangsa Batak itu awalnya adalah salah satu suku dari Proto Malayan yang bermukim di pegunungan perbatasan Burma (Myanmar sekarang) dan Siam (Thailand sekarang). Selama ribuan tahun lamanya suku bangsa Batak itu bertempat tinggal dengan suku bangsa Proton Malayan lainnya, seperti Karen, Igorot, Toraja, Bontoc, Ranau, Meo, Tayal dan Wajo.
Zaman dulu suku-suku Proto Malayan itu gak mau berhubungan dengan dunia luar. Mereka setia tinggaI di pegunungan. Ini berbeda sekali dengan suku-suku Neo Malayan. Suku-suku Neo Malayan lebih suka tinggal di tepi laut atau tanah datar terbuka.
Tapi semua itu berakhir. Suku-suku Proto Malayan terpaksa berhenti menutup diri di pegunungan itu. Karena sekitar tahun 1000 Sebelum Masehi (SM), suku bangsa Mongol datang menyerang dan terpaksalah mereka kabur ke selatan, sepanjang sungai-sungai Irawady, Salween, serta Mekong.
Mereka gak cuma didesak oleh si suku-suku mongol itu. Ternyata mereka juga didesak bangsa Syan yang bukan Proto Malayan, tapi Palae Mongoloid. Jadinya sebagian besar suku-suku Proto Malayan itu terdesak sampai ke tepi laut di teluk Martaban .
Di tepi laut, kebudayaan Proto Malayan ini jadinya mulai kecampur dengan budaya Hindu (terakulturasi), Ini juga mempengaruhi bahasanya. Seperti contohnya dalam bahasa Batak, istilah-istilah seperti debata, singa, surgo, batara dan mangaraja.
Suku-suku proto Malayan kurang senang bertempat tinggal di tepi laut karena kebiasaan mereka yang dul hidup di gunung serta terlalu banyak orang asing yang harus diperhitungkan.
Suku-suku dari Proto Malayan pun akhirnya terpisah-pisah. Suku-suku bangsa Proto Malayan yang kecil-kecil, banyak yang melancong dan akhirnya menetap di Filipina. Di situ mereka membentuk komunitas baru. Disana mereka menolak agama Islam dan agama Katholik. Padahal 90 persen orang Filipina, yang suku-sukunya Neo Malayan, beragama Islam dan agama Katholik, seperti suku Tagalog.
Ada juga yang ke Taiwan. Suku bangsa Tayal pergi ke puncak-puncak gunung di Taiwan sejak 3.000 tahun lalu sampai sekarang .
Sejak 3.000 tahun di Taiwan mereka menolak segala macam agama. Tetapi sesudah Perang Dunia II mereka mulai mau menerima Kristen dari pendeta-pendeta Kanada, yang membawa ilmu kesehatan modern.
Suku bangsa Toraja mendarat di Sulawesi. Di situ mereka selama 3.000 tahun hingga sekarang kontra dengan suku-suku bangsa Bugis dan Makasar, yang adalah Neo Malayan. Agama Islam sekitar 400 tahun sudah diterima Bugis dan Makasar. Tetapi suku Toraja gak mau. Tapi pas abad XX suku bangsa Toraja mau menerima Protestan Calvinist dari pendeta-pendeta Belanda.
Sementara suku Karen tetap bertahan di pegunungan Burma. Suku bangsa Karen tetap menolak agama Budha, yang dianut orang-orang Burma dan Siam. suku bangsa Karen sejak abad ke-XIX menerima agama Kristen/British Baptists dari pendeta-pendeta Inggris.
Sedangkan suku bangsa Ranau mendarat di Sumatera Barat, lalu selama 2.500 tahun berkurung di sekitar Danau Ranau. Lepas dari segala pengaruh kerajaan Sriwijaya, kerajaan Darmasraya, dan apa saja yang timbul dan lenyap di Sumatera Selatan. Tapi sekitar tahun 1550 suku bangsa Ranau ditaklukkan kesultanan Banten, yang membutuhkan sekitar Danau Ranau untuk penanaman merica untuk ekspor. Nah, Tulisannya si suku bangsa Ranau inilah yang paling dekat ke tulisan Batak. Sedangkan bahasa Igorot (di Filipina) itulah bahasa terdekat dengan bahasa Batak.
Lalu suku bangsa Batak, mereka mendarat di pantai Barat pulau Sumatera. Di situ suku bangsa Batak terpecah menjadi beberapa gelombang . Gelombang pertama berlayar terus dan mendarat di pulau-pulau Simular, Nias, Batu, Mentawai, Siberut sampai ke Enggano (Sumatera Selatan).
Gelombang kedua mendarat di muara sungai Simpang, sekarang Singkil. Mereka bergerak sepanjang sungai Simpang Kiri dan menetap di Kutacane. Dari situ mereka menduduki seluruh pedalaman Aceh. Itulah yang menjadi orang-orang Gayo, dan Alas.
Sementara gelombang ketiga mendarat di muara Sungai Sorkam, antara Barus dan Siboga. Memasuki pedalaman daerah yang sekarang dikenal sebagai Doloksanggul dan belakangan menetap di kaki Gunung Pusuk Buhit (2005 meter), di tepi danau Toba sebelah barat, sekarang di seberang Pangururan. Dari situ berkembang dan akhirnya menduduki tanah Batak yang sekarang, antara Aceh dan Minangkabau, antara Samudera Hindia dan Selat Malaka.
Begitu ceritanya…
Tapi ada juga versi lainnya yang mengatakan Suku Batak berasal dari India melalui Barus atau dari Alas Gayo berkelana ke Selatan hingga bermukim di pinggir Danau Toba. Batu bertulis (prasasti) di Portibi bertahun 1208 yang dibaca Prof. Nilakantisasri (Guru Besar Purbakala dari Madras, India) menjelaskan, pada tahun 1024 kerajaan Cola dari India menyerang Sriwijaya yang menyebabkan bermukimnya 1.500 orang Tamil di Barus. Pada tahun 1275 Mojopahit menyerang Sriwijaya, hingga menguasai daerah Pane, Haru, Padang Lawas. Sekitar tahun 1.400 kerajaan Nakur berkuasa di sebelah timur Danau Toba, Tanah Karo dan sebagian Aceh.
Batak merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia. Nama ini merupakan sebuah terma kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari tapanuli, Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah Toba,Pakpak(Dairi),Karo,Simalungun,dan Angkola.
Sebagian orang Batak menganut Agama Kristen dan sebagian lagi beragama Muslim. Tetapi ada pula yang menganut agama Malim (pengikutnya biasa disebut dengan Parmalim) dan juga penganut kepercayaan Animisme (disebut Pelebegu atau Parbegu), walaupun kini jumlah penganut kedua ajaran ini sudah semakin berkurang.

asal usul marga orang batak


MARGA BATAK
Orang Batak selalu dikenal dengan marganya. Marga ini merupakan simbol bagi keluarga Batak. Karena marga diperoleh dari garis keturunan ayah, yang akan terus-menerus diturunkan kepada penerusnya.
Asal – Usul Marga
Menurut kepercayaan bangsa Batak, induk marga Batak dimulai dari Si Raja Batak yang diyakini sebagai asal mula orang Batak. Si Raja Batak mempunyai 2 (dua) orang putra yakni Guru Tatea Bulan dan Si Raja Isumbaon.
Guru Tatea Bulan mempunyai istri bernama Si Boru Baso Burning dan memperoleh 5 orang putra dan 4 orang putri.
  • Putra :
  1. Si Raja Biak-Biak.
  2. Tuan SaribuRaja.
  3. Limbong Mulana.
  4. Sagala Raja.
  5. Malau Raja.
  • Putri :
  1. Si Boru Pareme, kawin dengan Tuan SaribuRaja.
  2. Si Boru Anting Sabungan, kawin dengan Tuan SorimangaRaja, putra Raja Isumbaon.
  3. Si Boru Biding Laut, juga kawin dengan Tuan SorimangaRaja.
  4. Si Boru Nan Tinjo, tidak kawin.
Sementara itu Si Raja Isumbaon mempunyai 3 (tiga) orang putra yaitu, Tuan SorimangaRaja, Si Raja Asiasi, dan Sangkar Somalindang.
1. Tuan SaribuRaja dan Marga-marga Keturunannya
Tuan SaribuRaja adalah nama putra kedua dari Guru Tatea Bulan. Dia dan adik kandungnya perempuan yang bernama Si Boru Pareme dilahirkan marpohas (anak kembar berlainan jenis).
Mula-mula SaribuRaja kawin dengan Nai Margiring Laut, dan melahirkan seorang putra yang bernama Raja Iborboron (Borbor). Tetapi kemudian Si Boru Pareme menggoda abangnya SaribuRaja, sehingga antara mereka terjadi perkawinan incest. Karena saudara-saudara yang lainnya tidak suka, maka SaribuRaja pergi mengembara ke hutan dengan meninggalkan Si Boru Pareme dalam keadaan hamil. Ketika Si Boru Pareme akan melahirkan, dia dibuang oleh saudara-saudaranya ke hutan belantara. Di sana dia bertemu dengan SaribuRaja yang sudah mempunyai “istri” seekor harimau betina.
Si Boru Pareme melahirkan seorang putra yang bernama Si Raja Lontung. Dari istrinya sang harimau, SaribuRaja memperoleh putra yang bernama Si Raja Babiat. di kemudian hari Si Raja Babiat mempunyai banyak keturunan di daerah Mandailing. Mereka bermarga BayoAngin.
A. Si Raja Lontung
Putra pertama dari Tuan SaribuRaja ini mempunyai 7 orang putra dan 2 orang putri, yaitu :
  • Putra :
  1. Tuan Situmorang, keturunannya bermarga Situmorang.
  2. Sinaga Raja, keturunannya bermarga Sinaga.
  3. Pandiangan, keturunannya bermarga Pandiangan.
  4. Toga Nainggolan, keturunannya bermarga Nainggolan.
  5. Simatupang, keturunannya bermarga Simatupang.
  6. Aritonang, keturunannya bermarga Aritonang.
  7. Siregar, keturunannya bermarga Siregar.
  • Putri :
  1. Si Boru AnakPandan, kawin dengan Toga Sihombing.
  2. Si Boru Panggabean, kawin dengan Toga Simamora.
Dari keturunan SITUMORANG, lahir marga-marga cabang Lumban Pande, Lumban Nahor, SuhutNihuta, SiringoRingo, Sitohang, Rumapea, Padang, Solin.
Dari keturunan SINAGA, lahir marga-marga cabang Simankorang, Simandalahi, Barutu alai nuaeng sinagabonur,dohot ompuratus nama.
Dari keturunan PANDIANGAN, lahir marga-marga cabang Samosir, Gultom, PakPahan, Sidari, Sitinjak, Harianja.
Dari keturunan NAINGGOLAN, lahir marga-marga cabang Rumahombar, Parhusip, Bautbara, Lumabn Tungkup, Lumban Siantar, Hutabalian, Lumban Raja, Pusuk, Buaton, Nahulae.
Dari keturunan SIMATUPANG lahir marga-marga cabang Togatorop, Sianturi, Siburian.
Dari keturunan ARITONANG, lahir marga-marga cabang Ompu Sunggu, RajaGukguk. Simaremare.
Dari keturunan SIREGAR, lahir marga-marga cabang Silo, Dongaran, Silali, Siagian, Ritonga, Sormin.
B. Si Raja Borbor
Putra kedua dari Tuan SaribuRaja, dilahirkan oleh Nai Margiring Laut. Semua keturunannya disebut marga BORBOR.
Cucu RAJA BORBOR yang bernama DATU TALADIBABANA (generasi keenam) mempunyai 6 orang putra, yang menjadi asal-usul marga-marga berikut :
1. Datu Dalu (Sahangmaima).
2. Sipahutar, keturunannya bermarga Sipahutar.
3. Harahap, keturunannya bermarga Harahap.
4. Tanjung, keturunannya bermarga Tanjung.
5. Datu Pulungan, keturunannya bermarga Pulungan.
6. Simargolang, keturunannya bermarga Simargolang.
Keturunan DATU DALU melahirkan marga-marga berikut :
a. Pasaribu, Batubara, Habeahan, Bondar, Gorat.
b. Tinendang, Tangkar.
c. Matondang.
d. Saruksuk.
e. Tarihoran.
f. Parapat.
g. RANGKUTI.
Keturunan DATU PULUNGAN melahirkan marga-marga LUBIS dan HUTASUHUT.
2. LIMBONG MULANA dan Marga-marga Keturunannya
Limbong Mulana adalah putra ketiga dari Guru Tatea Bulan. Keturunannya bermarga Limbong. Dia mempunyai 2 orang putra, yaitu PALU ONGGANG dan LANGGAT LIMBONG. Putra dari LANGGAT LIMBONG ada 3 orang. Keturunan dari putranya yang kedua kemudian bermarga SIHOLE dan keturunan dari putranya yang ketiga kemudian bermarga HABEAHAN. Yang lainnya tetap memakai marga induk, yaitu LIMBONG.
3. SAGALA RAJA
Putra keempat dari Guru Tatea Bulan. Sampai sekarang keturunannya tetap memakai marga SAGALA.
4. LAU RAJA dan Marga-marga Keturunannya
LAU RAJA adalah putra kelima dari Guru Tatea Bulan. Keturunannya bermarga MALAU. Dia mempunyai 4 orang putra, yaitu :
a. Pase Raja, keturunannya bermarga Pase
b. Ambarita, keturunannya bermarga Ambarita.
c. Gurning, keturunannya bermarga Gurning.
d. Lambe RajaA, keturunannya bermarga Lambe.
Salah seorang keturunan LAU RAJA diberi nama MANIK RAJA, yang kemudian menjadi asal-usul lahirnya marga MANIK.
Tuan SorimangaRaja dan Marga-marga Keturunannya
Tuan SorimangaRaja adalah putra pertama dari Raja Isumbaon. Dari ketiga putra Raja Isumbaon, dialah satu-satunya yang tinggal di Pusuk Buhit (di Tanah Batak). Istrinya ada 3 orang, yaitu :
a. Si Boru Anting Malela (NAI RASAON), putri dari Guru Tatea Bulan.
b. Si Boru Biding Laut (NAI AMBATON), juga putri dari Guru Tatea Bulan.
c. Si Boru Sanggul Haomasan (NAI SUANON).
Si Boru Anting Malela melahirkan putra yang bernama Tuan Sorba Djulu (OMPU RAJA NABOLON), gelar NAI AMBATON.
Si Boru Biding Laut melahirkan putra yang bernama Tuan Sorba Dijae (RAJA MANGARERAK), gelar NAI RASAON.
Si Boru Sanggul Haomasan melahirkan putra yang bernama Tuan Sorbadibanua, gelar NAI SUANON.
NAI AMBATON (TUAN SORBA DJULU/OMPU RAJA NABOLON)
Nama (gelar) putra sulung TUAN SORIMANGARAJA lahir dari istri pertamanya yang bernama NAI AMBATON. Nama sebenarnya adalah OMPU RAJA NABOLON, tetapi sampai sekarang keturunannya bermarga NAI AMBATON menurut nama ibu leluhurnya.
NAI AMBATON mempunyai 4 orang putra, yaitu :
a. SIMBOLON TUA, keturunannya bermarga SIMBOLON.
b. TAMBA TUA, keturunannya bermarga TAMBA.
c. SARAGI TUA, keturunannya bermarga SARAGI.
d. MUNTE TUA, keturunannya bermarga MUNTE (MUNTE, NAI MUNTE, atau DALIMUNTE).
Dari keempat marga pokok tersebut, lahir marga-marga cabang sebagai berikut (menurut buku “Tarombo Marga Ni Suku Batak” karangan W. Hutagalung) :
a. Dari SIMBOLON : TINAMBUNAN, TUMANGGOR, MAHARAJA, TURUTAN, NAHAMPUN, PINAYUNGAN. Juga marga-marga BERAMPU dan PASI.
b. Dari TAMBA : SIALLAGAN, TOMOK, SIDABUTAR, SIJABAT, GUSAR, SIADARI, SIDABOLAK, RUMAHORBO, NAPITU.
c. Dari SARAGI : SIMALANGO, SAING, SIMARMATA, NADEAK, SIDABUNGKE.
d. Dari MUNTE : SITANGGANG, MANIHURUK, SIDAURUK, TURNIP, SITIO, SIGALINGGING.
Keterangan lain mengatakan bahwa NAI AMBATON mempunyai 2 orang putra, yaitu SIMBOLON TUA dan SIGALINGGING. SIMBOLON TUA mempunyai 5 orang putra, yaitu SIMBOLON, TAMBA, SARAGI, MUNTE, dan NAHAMPUN.
Walaupun keturunan NAI AMBATON sudah terdiri dari berpuluh-puluh marga dan sampai sekarang sudah lebih dari 20 sundut (generasi), mereka masih mempertahankan Ruhut Bongbong, yaitu peraturan yang melarang perkawinan antar sesama marga keturunan NAI AMBATON.
Catatan mengenai OMPU BADA, menurut buku “Tarombo Marga Ni Suku Batak” karangan W. Hutagalung, OMPU BADA tersebut adalah keturunan NAI AMBATON pada sundut kesepuluh.
Menurut keterangan dari salah seorang keturunan OMPU BADA (MPU BADA) bermarga GAJAH, asal-usul dan silsilah mereka adalah sebagai berikut :
a. MPU BADA ialah asal-usul dari marga-marga TENDANG, BUNUREA, MANIK, BERINGIN, GAJAH, dan BARASA.
b. Keenam marga tersebut dinamai SIENEMKODIN (Enem = enam, Kodin = periuk) dan nama tanah asal keturunan MPU BADA pun dinamai SIENEMKODIN.
c. MPU BADA bukan keturunan NAI AMBATON, juga bukan keturunan SI RAJA BATAK dari Pusuk Buhit.
d. Lama sebelum SI RAJA BATAK bermukim di Pusuk Buhit, OMPU BADA telah ada di tanah Dairi. Keturunan MPU BADA merupakan ahli-ahli yang trampil (pawang) untuk mengambil serta mengumpulkan kapur barus yang diekspor ke luar negeri selama berabad-abad.
e. Keturunan MPU BADA menganut sistem kekerabatan Dalihan Natolu seperti yang dianut oleh saudara-saudaranya dari Pusuk Buhit yang datang ke tanah Dairi dan Tapanuli bagian barat.
NAI RASAON (RAJA MANGARERAK)
Nama (gelar) putra kedua dari TUAN SORIMANGARAJA, lahir dari istri kedua TUAN SORIMANGARAJA yang bernama NAI RASAON. Nama sebenarnya ialah RAJA MANGARERAK, tetapi hingga sekarang semua keturunan RAJA MANGARERAK lebih sering dinamai orang NAI RASAON.
RAJA MANGARERAK mempunyai 2 orang putra, yaitu RAJA MARDOPANG dan RAJA MANGATUR. Ada 4 marga pokok dari keturunan RAJA MANGARERAK :
a. Dari RAJA MARDOPANG, menurut nama ketiga putranya, lahir marga-marga SITORUS, SIRAIT, dan BUTAR BUTAR.
b. Dari RAJA MANGATUR, menurut nama putranya, TOGA MANURUNG, lahir marga MANURUNG.
Marga PANE adalah marga cabang dari SITORUS.
NAI SUANON (TUAN SORBADIBANUA)
Nama (gelar) putra ketiga dari TUAN SORIMANGARAJA, lahir dari istri ketiga TUAN SORIMANGARAJA yang bernama NAI SUANON. Nama sebenarnya ialah TUAN SORBADIBANUA, dan di kalangan keturunannya lebih sering dinamai TUAN SORBADIBANUA.
TUAN SORBADIBANUA mempunyai 2 orang istri dan memperoleh 8 orang putra.
Dari istri pertama (putri SARIBURAJA) :
a. SI BAGOT NI POHAN, keturunannya bermarga POHAN.
b. SI PAET TUA.
c. SI LAHI SABUNGAN, keturunannya bermarga SILALAHI.
d. SI RAJA OLOAN.
e. SI RAJA HUTA LIMA.
Dari istri kedua (BORU SIBASOPAET, putri Mojopahit) :
a. SI RAJA SUMBA.
b. SI RAJA SOBU.
c. TOGA NAIPOSPOS, keturunannya bermarga NAIPOSPOS.
Keluarga TUAN SORBADIBANUA bermukim di Lobu Parserahan – Balige. Pada suatu ketika, terjadi peristiwa yang unik dalam keluarga tersebut. Atas ramalan atau anjuran seorang datu, TUAN SORBADIBANUA menyuruh kedelapan putranya bermain perang-perangan. Tanpa sengaja, mata SI RAJA HUTA LIMA terkena oleh lembing SI RAJA SOBU. Hal tersebut mengakibatkan emosi kedua istrinya beserta putra-putra mereka masing-masing, yang tak dapat lagi diatasi oleh TUAN SORBADIBANUA. Akibatnya, istri keduanya bersama putra-putranya yang 3 orang pindah ke Lobu Gala-gala di kaki gunung Dolok Tolong sebelah barat.
Keturunana TUAN SORBADIBANUA berkembang dengan pesat, yang melahirkan lebih dari 100 marga hingga dewasa ini.
Keturunan SI BAGOT NI POHAN melahirkan marga dan marga cabang berikut:
a. TAMPUBOLON, BARIMBING, SILAEN.
b. SIAHAAN, SIMANJUNTAK, HUTAGAOL, NASUTION.
c. PANJAITAN, SIAGIAN, SILITONGA, SIANIPAR, PARDOSI.
d. SIMANGUNSONG, MARPAUNG, NAPITUPULU, PARDEDE.
Keturunan SI PAET TUA melahirkan marga dan marga cabang berikut :
a. HUTAHAEAN, HUTAJULU, ARUAN.
b. SIBARANI, SIBUEA, SARUMPAET.
c. PANGARIBUAN, HUTAPEA.
Keturunan SI LAHI SABUNGAN melahirkan marga dan marga cabang berikut :
a. SIHALOHO.
b. SITUNGKIR, SIPANGKAR, SIPAYUNG.
c. SIRUMASONDI, RUMASINGAP, DEPARI.
d. SIDABUTAR.
e. SIDABARIBA, SOLIA.
f. SIDEBANG, BOLIALA.
g. PINTUBATU, SIGIRO.
h. TAMBUN (TAMBUNAN), DOLOKSARIBU, SINURAT, NAIBORHU, NADAPDAP, PAGARAJI, SUNGE, BARUARA, LUMBAN PEA, LUMBAN GAOL.
Keturunan SI RAJA OLOAN melahirkan marga dan marga cabang berikut :
a. NAIBAHO, UJUNG, BINTANG, MANIK, ANGKAT, HUTADIRI, SINAMO, CAPA.
b. SIHOTANG, HASUGIAN, MATANIARI, LINGGA, MANIK.
c. BANGKARA.
d. SINAMBELA, DAIRI.
e. SIHITE, SILEANG.
f. SIMANULLANG.
Keturunan SI RAJA HUTA LIMA melahirkan marga dan marga cabang berikut:
a. MAHA.
b. SAMBO.
c. PARDOSI, SEMBIRING MELIALA.
Keturunan SI RAJA SUMBA melahirkan marga dan marga cabang berikut :
a. SIMAMORA, RAMBE, PURBA, MANALU, DEBATARAJA, GIRSANG, TAMBAK, SIBORO.
b. SIHOMBING, SILABAN, LUMBAN TORUAN, NABABAN, HUTASOIT, SITINDAON, BINJORI.
Keturunan SI RAJA SOBU melahirkan marga dan marga cabang berikut :
a. SITOMPUL.
b. HASIBUAN, HUTABARAT, PANGGABEAN, HUTAGALUNG, HUTATORUAN, SIMORANGKIR, HUTAPEA, LUMBAN TOBING, MISMIS.
Keturunan TOGA NAIPOSPOS melahirkan marga dan marga cabang berikut :
a. MARBUN, LUMBAN BATU, BANJARNAHOR, LUMBAN GAOL, MEHA, MUNGKUR, SARAAN.
b. SIBAGARIANG, HUTAURUK, SIMANUNGKALIT, SITUMEANG.
***

DONGAN SAPADAN (TEMAN SEIKRAR, TEMAN SEJANJI)
Dalam masyarakat Batak, sering terjadi ikrar antara suatu marga dengan marga lainnya. Ikrar tersebut pada mulanya terjadi antara satu keluarga dengan keluarga lainnya atau antara sekelompok keluarga dengan sekelompok keluarga lainnya yang marganya berbeda. Mereka berikrar akan memegang teguh janji tersebut serta memesankan kepada keturunan masing-masing untuk tetap diingat, dipatuhi, dan dilaksanakan dengan setia. Walaupun berlainan marga, tetapi dalam setiap marga pada umumnya ditetapkan ikatan, agar kedua belah pihak yang berikrar itu saling menganggap sebagai dongan sabutuha (teman semarga). Konsekuensinya adalah bahwa setiap pihak yang berikrar wajib menganggap putra dan putri dari teman ikrarnya sebagai putra dan putrinya sendiri. Kadang-kadang ikatan kekeluargaan karena ikrar atau padan lebih erat daripada ikatan kekeluargaan karena marga. Karena ada perumpamaan Batak mengatakan sebagai berikut :
“Togu urat ni bulu, toguan urat ni padang;
Togu nidok ni uhum, toguan nidok ni padan”
artinya :
“Teguh akar bambu, lebih teguh akar rumput;
Teguh ikatan hukum, lebih teguh ikatan janji”
Masing-masing ikrar tersebut mempunyai riwayat tersendiri. Marga-marga yang mengikat ikrar antara lain adalah :
a. MARBUN dengan SIHOTANG.
b. PANJAITAN dengan MANULLANG.
c. TAMPUBOLON dengan SITOMPUL.
d. SITORUS dengan HUTAJULU – HUTAHAEAN – ARUAN.
e. NAHAMPUN dengan SITUMORANG.
f. SIREGAR dengan NAINGGOLAN
CATATAN TAMBAHAN
1. Selain PANE, marga-marga cabang lainnya dari SITORUS adalah BOLTOK dan DORI.
2. Marga-marga PANJAITAN, SILITONGA, SIANIPAR, SIAGIAN, dan PARDOSI tergabung dalan suatu punguan (perkumpulan) yang bernama TUAN DIBANGARNA. Menurut yang saya ketahui, dahulu antar seluruh marga TUAN DIBANGARNA ini tidak boleh saling kawin. Tetapi entah kapan ada perjanjian khusus antara marga SIAGIAN dan PANJAITAN, bahwa sejak saat itu antar mereka (kedua marga itu) boleh saling kawin.
3. Marga SIMORANGKIR adalah salah satu marga cabang dari PANGGABEAN. Marga-marga cabang lainnya adalah LUMBAN RATUS dan LUMBAN SIAGIAN.
4. Marga PANJAITAN selain mempunyai ikatan janji (padan) dengan marga SIMANULLANG, juga dengan marga-marga SINAMBELA dan SIBUEA.
5. Marga SIMANJUNTAK terbagi 2, yaitu HORBOJOLO dan HORBOPUDI. Hubungan antara kedua marga cabang ini tidaklah harmonis alias bermusuhan selama bertahun-tahun, bahkan sampai sekarang. (mereka yang masih bermusuhan sering dikecam oleh batak lainnya dan dianggap batak bodoh)
6. TAMPUBOLON mempunyai putra-putra yang bernama BARIMBING, SILAEN, dan si kembar LUMBAN ATAS & SIBULELE. Nama-nama dari mereka tersebut menjadi nama-nama marga cabang dari TAMPUBOLON (sebagaimana biasanya cara pemberian nama marga cabang pada marga-marga lainnya).
7. Pada umumnya, jika seorang mengatakan bahwa dia bermarga SIAGIAN, maka itu adalah SIAGIAN yang termasuk TUAN DIBANGARNA, bukan SIAGIAN yang merupakan marga cabang dari SIREGAR ataupun LUMBAN SIAGIAN yang merupakan marga cabang dari PANGGABEAN.
8. Marga SIREGAR, selain terdapat di suku Batak Toba, juga terdapat di suku Batak Angkola (Mandailing). Yang di Batak Toba biasa disebut “Siregar Utara” sedangkan yang di Batak Angkola (Mandailing) biasa disebut “Siregar Selatan”.
9. Marga-marga TENDANG, BUNUREA, MANIK, BERINGIN, GAJAH, BARASA, NAHAMPUN, TUMANGGOR, ANGKAT, BINTANG, TINAMBUNAN, TINENDANG, BARUTU, HUTADIRI, MATANIARI, PADANG, SIHOTANG, dan SOLIN juga terdapat di suku Batak Pakpak (Dairi).
10. Di suku Batak Pakpak (Dairi) :
a. BUNUREA disebut juga BANUREA.
b. TUMANGGOR disebut juga TUMANGGER.
c. BARUTU disebut juga BERUTU.
d. HUTADIRI disebut juga KUDADIRI.
e. MATANIARI disebut juga MATAHARI.
f. SIHOTANG disebut juga SIKETANG.
11. Marga SEMBIRING MELIALA juga terdapat di suku Batak Karo. SEMBIRING adalah marga induknya, sedangkan MELIALA adalah salah satu marga cabangnya.
12. Marga DEPARI juga terdapat di suku Batak Karo. Marga tersebut juga merupakan salah satu marga cabang dari SEMBIRING.
13. Jangan keliru (bedakan) :
a. SITOHANG dengan SIHOTANG.
b. SIADARI dengan SIDARI.
c. BUTAR BUTAR dengan SIDABUTAR.
d. SARAGI (Batak Toba) dengan SARAGIH (Batak Simalungun).
14. Entah kebetulan atau barangkali memang ada kaitannya, marga LIMBONG juga terdapat di suku Toraja.
15. Marga PURBA juga terdapat di suku Batak Simalungun.

Tentang Umpama dn Umpasa



A. Keterangan pembuka:

1. Jambar, adalah sesuatu yang diterima atau diperoleh seseorang, berdasarkan kedudukannya dalam adat Batak. Dapat dikatakan, “jambar” itu adalah hak pribadi atau suatu kelompok, karena kedudukannya dalam hubungan kekerabatan/adat.

Dalam kehidupan & budaya orang Batak, setidak-tidaknya dikenal lima jenis jambar, yakni: jambar ulos; jambar juhut (daging); jambar hepeng (uang); jambar hata; jambar pasahathon pasu-pasu (untuk memimpin doa dalam suatu acara khusus, sesuai dengan agama/iman kepercayaan kelompok yang menyelenggarakan acara).

2. Kalau ketiga jambar lain relatif tidak menuntut suatu kemampuan/keahlian khusus dari diri seseorang, karena cukup hanya menerima saja (paling-paling hanya perlu mengucapkan terimakasih), dua di antara jambar itu menuntut kemampuan atau kepandaian berbicara di hadapan umum, yakni jambar hata dan penyampaian doa pasu-pasu. Umumnya “jambar hata” dibagikan kepada orang-perseorangan, atau beberapa orang dalam satu kelompok (menurut “horong”: misalnya “horong” hula-hula; boru/bere; ale-ale & dongan sahuta; pemimpin lingkungan; dan menurut “kelompok Ompu,” di kalangan yang berkakak-adik (dongan tubu; kerabat semarga); dsb.

3. Pada dasarnya, penerima jambar hata selalu terdiri dari beberapa orang dalam kelompoknya. Sehingga mereka dapat memilih/menghormati salah satu di antara mereka untuk menyampaikannya (biasanya yang tertua, baik menurut umur maupun menurut kedudukan dalam “tarombo”; kalau memang mampu. Kalau tidak, jambar akan digeserkan kepada yang lebih muda, dsb).

Ada kalanya kelak, orang-orang tua atau yang dituakan dalam kelompok, sudah menjadi sangat langka, atau tidak punya kemampuan menerima kehormatan “jambar hata.” Karena itu, generasi yang lebih muda harus mempelajari atau mempersiapkan diri untuk itu, kalau mereka sadar bahwa adat Batak perlu dilestarikan.

4. Dalam buku ini, kami tidak bermaksud memberikan contoh-contoh bentuk kata-kata (sambutan) yang akan disampaikan oleh seseorang dalam hal memenuhi haknya menerima jambar hata dalam bentuk “prosa”. Hendaknyalah setiap orang mempelajarinya sendiri melalui nalarnya mengamati setiap jenis acara adat yang pernah diikutinya

.

B. Peranan penyampaian umpama (umpasa):

Seperti suku-suku bangsa lainnya di kawasan Nusantara, setidak-tidaknya kalangan suku-suku Melayu, semua sub-etnik dalam suku Batak juga menggunakan pepatah-petitih dalam hal setiap perhelatan adat; bahkan dalam occasion (peristiwa) lain, seperti misalnya kematian, kecelakaan, martandang (menemui dan berbicara dengan gadis-gadis yang diharapkan dapat dipinang), atau hanya untuk sekedar penyampaian nasehat, dlsb.

Karena jambar hata (dalam occasion apapun) seringkali menuntut, atau lebih baik ditutup atau disimpulkan melalui pengucapan umpama (umpasa), maka ada baiknya kami sajikan beberapa di antaranya untuk dikaji/dipelajari oleh generasi muda.

Yang disajikan di bawah hanyalah umpama (umpasa) yang kami anggap sederhana atau paling dasar, merupakan standar yang tidak terlalu sulit digunakan secara umum, dalam berbagai acara (occasion) itu. Kami menyajikan menurut kelompok penggunaannya.

1. Umpama dan tanya-jawab pembuka dalam hal menerima/penyampaian

makanan adat:

Dimulai dengan kata basa-basi (prosa) pembuka dari si penanya, maka perlu disambung dengan:

Asa, danggur-dangur barat ma tongon tu duhut-duhut

Nunga butong hita mangan, mahap marlompan juhut,

Ba haroan ni ulaonta on, dipaboa amanta suhut.

Atau: Ba, dia ma langkatna, dia unokna

Dia ma hatana, dia nidokna,

Haroan ni ulaonta on,

Tung tangkas ma dipaboa amanta suhut

Respons si-pemberi (pembawa) makanan:

Kata basa-basi pembukan (prosa), dan disambung:

Asa bagot na marhalto ma na tubu di robean

Ba horas ma hamu na manganhon, tu gandana ma di hami na mangalean

Ekstra:

Taringot di sipanganon na hupasahat hami rajanami

Molo tung na mangholit hami, sai ganda ma na hinolit tu joloansa on

Dan ditutup dengan:

Anggo sintuhu ni sipanganon masak na hupasahat hami

Ba, panggabean, parhorasan do rajanami (tu hula-hula); tu hamu raja ni haha-anggi

(bila makanan itu untuk kawula yang berkakak-adik)

Sambungan sapaan-pertanyaan dari si penerima makanan:

Dimulai lagi dengan kata basi-basi, dan disambung dengan:

Antong raja ni ……….; Asa tangkas ma uju Purba, tangkasan uju Angkola

Asa tangkas hita maduma, tangkasan hita mamora.

Jadi, asa songon hata ni natua-tua do dohonon:

Siangkup ninna, songon na hundul, jala siudur songon na mardalan

Ba, angkup ni angka na uli na denggan, tung tungkas ma dipaboa amanta suhut,

Asa adong sibegeon ni pinggol, sipeopon ni roha.

Jawaban penutup:

I ma tutu rajanami, nunga apala dipadua hali raja i manungkun

Ba saonari, tung tangkas ma antong paboaonnami:

Anggo siangkupna dohot sidonganna rajanami, ima:……..

(dia ceritakan secara singkat dalam bentuk prosa, maksud tujuan acara adat itu)

2. Umpama dalam berbagai perhelatan, yang memintakan berkat:

a. Perkawinan (kepada penganten)— Biasanya umpama ini harus disampaikan dengan jumlah ganjil; mis: satu, tiga, lima, tujuh dsb. Di zaman modern ini di perantauan (karena soal faktor keterbatasan waktu), terutama bagi generasi muda, boleh saja mengucapkan hanya satu saja. Kalau mampu menghafalnya, boleh sampai tiga umpama:

Contoh:

1) Bintang na rimiris ma, tu ombun na sumorop Asa anak pe antong di hamu riris, boru pe antong torop

2) Tubuan laklak ma, tubuan sikkoru di dolok ni Purbatua Sai tubuan anak, tubuan boru ma hamu, donganmu sarimatua

3) Pir ma pongki, bahul-bahul pansalongan Sai pir ma tondimuna, jala tongtong hamu masihaholongan

4) Pinantik hujur tu jolo ni tapian

Tusi hamu mangalangka, tusi ma dapot parsaulian

5) Pangkat-hotang.Tu dia hamu mangalangka, tusi ma dapot pangomoan

6) Tangki jala hualang, garinggang jala garege

Tubuan anak ma hamu, partahi jala ulubalang

Tubuan boru par-mas jala pareme.

7) Tubu ma hariara, di tonga-tonga ni huta

Sai tubu ma anak dohot borumu

Na mora jala na martua

Kalau “umpama” diucapkan (disampaikan) hanya satu (single) di antara umpama di atas, tak tak perlu ada umpama penutup. Tapi kalau menyampaikan dua atau empat, atau bahkan enam, sebaiknya ditutup dengan umpama pembuat jumlah-ganjil berikut:

Asa, sahat-sahat ni solu ma, sahat tu bontean

Sai sahat ma hita on sude mangolu,

Sahat ma tu parhorasan, sahat tu panggabean.

Bila kita harus menyampaikan ulos pansamot (kepada orangtua penganten laki-laki) atau kepada besan kita: beberapa umpama yang relevan antara lain adalah:

1) Andor halukka ma patogu-togu lombu

Saur ma hamu matua, patogu-togu pahompu

2) Eme sitamba-tua ma parlinggoman ni siborok

Tuhanta Debata do silehon tua, sude ma hita on diparorot

3) Tubu ma dingin-dingin di tonga-tonga ni huta

Saur ma hita madingin, tumangkas hita mamora

4) Sitorop ma dangkana, sitorop rantingna

Sitorop ma nang bulungna

Sai torop ma hahana, torop anggina

Torop ma nang boruna

Umpama di atas, dapat pula dipakai untuk memberikan kata berkat/pasu-pasu kepada pihak lain, termasuk dalam bentuk acara “selamatan” lain-lain; dan tentu saja sebaiknya ditutup dengan ”Sahat-sahat ni solu……dst.”.

b. Tuntunan dari pihak hula-hula kepada pihak boru, karena menerima permintaan bimbingan (paniroion) terhadap pembicaraan pihak-suhut dengan pihak besan-nya:

Lebih dahulu mengucapkan kata basa-basi tuntunan secara “prosa”, dan diakhiri dengan puisi (umpama) berikut:

Asa balintang ma pagabe, tumundalhon sitadoan

Arimuna ma gabe, ai nunga hamu masipaolo-oloan

c. Mangampu (mengucapkan kata sambutan terimaksih) terhadap kata-kata ucapan syukur dari pihak hula-hula, atau pihak lain untuk kita:

Setelah mengucapkan kata-kata mangampu secara “prosa”, maka diakahiri dengan puisi (umpama) berikut:

1). Asa turtu ma ninna anduhur, tio ninna lote

Sude hata na denggan, hata nauli na pinasahatmuna i

Sai unang ma muba, unang ma mose.

2). Tingko ma inggir-inggir, bulungna i rata-rata

Di angka pasu-pasu na nipinasahatmuna, pasauthon ma Tuhanta Debata

3). Asa naung sampulu pitu ma, jumadi sampulu-alu

Sude hata na uli na pinsahatmunai, ampuonnami ma i martonga ni jabu.

d. Umpama oleh Raja-parhata dari pihak parboru dalam hal mengucapkan dan akan membagi uang “ingot-ingot” (setelah menerima porsi dari pihak paranak untuk digabungkan):

Nunga jumpang tali-aksa ihot ni ogung oloan

Nunga sidung sude hata, ala tangkas do hita masipaolo-oloan

Bulung ni losa ma tu bulung ni indot

Bulung motung mardua rupa,

Sude na tahatai i ingkon taingot

Asa unang adong hita na lupa ….; Ingot-ingot; ingot-ingot; ingot-ingot.

e. Umpana dalam waktu menutup pembicaraan dalam pesta-kawin: dengan cara membagi uang “Olop-olop,” oleh Raja-parhata fihak parboru, setelah menerima porsi uang olop-olop dari fihak paranak untuk digabungkan:

Asa binanga ni Sihombing ma binongkak ni Tarabunga

Tu sanggar ma amporik, to lombang ma satua

Sinur ma na pinahan, jala gabe na niula

Simbur magodang angka dakdanak songon ulluson pura-pura

Hipas angka na magodang tu pengpengna laho matua

Horas pardalan-dalan, mangomo nang partiga-tiga

Manumpak ma Tuhanta dihorasi hita saluhutna,…

Asa aek siuruk-uruk, ma tu silanlan aek Toba

Na metmet soadong marungut-ungut, na magodang sude marlas ni roha…

Olop-olop; olop-olop; olop-olop.

f. Dukacita: Hanya dalam keadaan duka-cita yang mendalam, karena kematian di luar bentuk “saur-matua” (terkadang juga di luar “sarimatua”):

Setelah mengucapkan kata-kata penghiburan dalam bentuk prosa; maka ditutup dengan puisi (umpama):

Asa songon hata ni umpama ma dohononku:

Bagot na madungdung ma, tu pilo-pilo na marajar

Sai salpu ma angka na lungun, sai ro ma angka na jagar.

Atau: Hotang binebebe, hotang pinulos-pulos

Unang hamu mandele, ai godang do tudos-tudos.

g. Nasehat: untuk yang tak mungkin menikmati/memperoleh lagi sesuatu seperti di masa lalu:

Ndang tardanggur be na gaung di dolok ni Sipakpahi

Ndang haulahan be na dung, songon sibokka siapari.

Kalendar Batak



Nama-nama hari dalam 1 bulan di Batak:

1. Artia
2. Suma
3. Anggara
4. Muda
5. Boraspati
6. Singkora
7. Samisara
8. Artia ni Aek
9. Suma ni Mangadop
10. Anggara Sampulu
11. Muda ni mangadop
12. Boraspati ni Tangkup
13. Singkora Purasa
14. Samisara Purasa
15. Tula
16. Suma ni Holom
17. Anggara ni Holom
18. Muda ni Holom
19. Boraspati ni Holom
20. Singkora Moraturun
21. Samisara Moraturun
22. Artia ni Angga
23. Suma ni Mate
24. Anggara ni Begu
25. Muda ni Mate
26. Boraspati Nagok
27. Singkora Duduk
28. Samisara Bulan Mate
29. Hurung
30. Ringkar

Paretongan ari dibagasan sada bulan 29 ari dohot 30 ari marholang sada bulan.

MAMILANGI BULAN BATAK

1. Sipahasada
2. Sipahadua
3. Sipahatolu
4. Sipahaopat
5. Sipahalima
6. Sipahaonom
7. Sipahapitu
8. Sipahaualu
9. Sipahasia
10. Sipahasampulu
11. Li
12. Hurung

Sahali dibagasan opat taon adong do bulan tamba-tamba didok : Lamadu

Poda Sipaingot



PODA

1 Pantun hangoluan tois hamagoan.
2 Seang do tarup ijuk soada langge panoloti, seang do sipaingot so adong na mangoloi.
3 Unang marhandang na buruk, unang adong solotan sogot, unang marhata na juruk unang adong solsolan marsogot.
4 Tinallik dulang tampak dohot aekna. Pinungka hata (ulaon) unang langlang di tagetna.
5 Unang sinuan padang di ombur-ombur, unang sinuan hata nagabe humondur-hondur.
6 Anduhur pidong jau sitangko jarum pidong muara, gogo sibahen na butong tua sibahen na mamora, roha unang soada.
7 Aek dalan ni solu sian tur dalan ni hoda, gogo mambahen butong, tua sibahen mamora.
8 Anduhur pidong toba siruba-ruba pidong harangan, halak na losok mangula jadian rapar mangan.
9 Anduhur pidong toba siruba-ruba pidong harangan, halak na padot mangula ido na bosur mangan.
10 Singke di ulaon sipasing di baboan, tigor hau tanggurung burju pinaboan-boan.
11 Pauk ni Aritonang pauk laho mangula, burju pinaboan-boan dongan sarimatua.
12 Hotang-hotang sodohon ansimun sibolaon, hata-hata sodohonon sitongka paboaboaon.
13 Handang niaithon na dsua gabe sada, niantan pargaiton unang i dalan bada.
14 Hori sada hulhulan bonang sada simbohan, tangkas ma sinungkun nanget masipadohan.
15 Ijuk di para-para hotang di parlabian, na bisuk nampuna hata na oto tu pargadisan.
16 Hotang do paninaran hadang-hadangan pansalongan.
17 Bogas ni Gaja Toba tiur do di jolo rundut do di pudi , bogas ni Raja Toba tiur do di jolo tota dohot di pudi.
18 Dang sibahenon dangka-dangka dupang-dupang, dang sibahenon hata margarar utang.
19 Sinuan bulu di parbantoan dang marganda utang molo pintor binahonan.
20 Sinuan bulu di parbantoan sai marganda do utang na so binahonan.
21 Niduda bangkudu sada-sada tapongan, sai marganda lompit do utang ia so jalo-jalo binahonan.
22 Manggual sitindaon mangan hoda sigapiton, tu jolo nilangkahon tu pudi sinarihon.
23 Langkitang gabe hapur, nahinilang gabe mambur.
24 Molo duri sinuan duri ma dapoton. Ia bunga sinuan bunga ma dapoton, ia naroa sinuan naroa ma dapoton.
25 Jolo marjabu bale-bale asa marjabu sopo, jolo sian na tunggane asa tu naumposo molo makkuling natunggane manangi ma naumposo.
26 Ingkon manat marpiu tali, ingkon pande marjalin bubu, ingkon manat mangula tahi, ingkon pande mangula uhum.
27 Masihurha manukna unang teal buriranna, masiajar boruna unang suda napuranna.
28 Tuit sitara tuit tuit pangalahona, natuit anak i mago horbona, molo natuit boru mago ibotona.
29 Siala il siala ilio, utang juma disingir di halak namalo, singir jadi utang di halak na so malo.
30 Magodang aek bila, ditondong aek hualu, mago sideak bibir dibahen pangalualu.
31 Santopap bohi sanjongkal andora, ndang diida mata alai diida roha.
32 Anduhur pidong jau sitapi-tapi pidong toba, binuat roha jau pinarroha roha toba.
33 Gala-gala nasa botohon , manang beha pe laga adong do hata naso boi dohonon.
34 Pir eme di lobongan ndang guguton, uli pe paniaran ni dongan ndang langkupon.
35 Ndang tuk-tuhan batu dakdahan simbora, ndang tuturan datu ajaran na marroha.
36 Songon parsege-sege so seang, sapala seang, seang dohot bota-botana.
37 Naihumarojor bola hudonna, naihumalaput tata indahanna.
38 Pege sangkarimpang halas sahadang-hadangan, rap mangangkat tu ginjang, rap manimbung tutoru halak namarsapanganan.
39 Tinutu gambiri angkup ni sera-sera, pinatonggor panaili, unang hu roha ni deba.
40 Unang songon parmahan ni sunggapa, dihuta horbona dibalian batahina, mago dibahen rohana pidom dibahen tondina.
41 Sitapi uruk sitapi dibalunde, tu dolok pe uruk tu toruan tong ene, ai aha so uruk sai jalo do pinaune-une.
42 Sinintak hotor-hotor, humutur halak-halak asing do timbang dongan asing timbang halak.
43 Mimbar tungkap ni tuak, mimbar do nang daina, muba laut, muba do ugarina.
Muba dolok, muba duhutna, muba luat muba do uhumna.
44 Manghuling bortung di topi ni binanga, adong do songon ogung sipatudu luhana.
45 Rigat-rigat ni tangan ndang laos rigathonon, rigat-rigat ni hata ndang laos ihuthononton.
46 Talaktak siugari, ibana mambahen, ibana mamburbari .
47 Hauma sitonang panjangkitan ni langkitang, sai pidom do jolma na olo marhilang.
48 Ndang tarhindat gaor-gaor ni hudon, ndang tarsoluk harajaon hasuhuton.
49 Tanduk ni ursa mardangka-dangka suhut di hasuhutonna raja marhata-hata.
50 Tanduk ni ursa margulu-gulu salohot benge. (na so dohot pe diboto aha namasa)
51 Pansur tandiang di rura ni aek puli, na pantun marroha/marina ido tiruan nauli.
52 Martaguak manuk di toruni bara ruma, napantun marnatoras, ido halak namartua.
53 Habang ambaroba paihut-ihut rura, sapala naung ni dohan, unang pinauba-uba.
54 Pasuda-suda arang so himpal bosi. (patua-tua daging pasuda-suda gogo.)
55 Holi-holi sangkalia, sai marhormat do langkani ama mida tangan ni ina.
56 Masuak ranggas di degehon Sinambela, molo tung i nama dibuat nasoala, nanggo torang diboto deba.
57 Bosi marihur tinopa ni anak lahi, matana tinallikkon tundunma mangonai
58 Dipangasahon suhulna do matana, dipangasahan matana do suhulna.
59 Ndang dao tubis sian bonana.
60 Pitu hali taripar di aek parsalinan, laos so muba do bolang ni babiat.
61 Somalna do peamna.
62 Hapalna mattat dok-dokna, dok-dokna mattat hapalna.
63 Unang martata ilik sada robean.
64 Gala gumal bulu andalu sangkotan ni bonang, asa monang maralohon musu, pinatalu roha maralohon dongan.
65 Garang-garang ni luatan nionjat tu harang ni hoda, molo marbada hula-hula, boruna mandabu tola. Molo marbada boru, hula-hula mandabu tola. Molo marbada anggi, hahana mandabu tola.
66 Unang patubi-tubi manuk pasalpu-salpu onan.
67 Unang dua hali tu aek natua-tua.
68 Hotang hotang sodohon ansimun sobolaon. Hata-hata sodohonon tongka sipaboa-boanan, guru ni hata naso dohonon, guru ni juhut naso seaton.

SALIK

1. Ndang taruba babi so mangallang halto.
2. Holi-holi sangkalia, tading nanioli dibahen nahinabia.
3. Jinama tus-tus tiniop pargolangan, tuk dohonon ni munsung dang tuk gamuon ni tangan.
4. Balik toho songon durung ni Pangururan, sianpudi pe toho asal haroro ni uang.
5. Sanggar rikrik angkup ni sanggar lahi, dongan marmihim jala donganna martahi-tahi.
6. Otik pe bau joring godang pe bau palia.
7. Tinompa ni pinggan paung, molo domu songon namaung-aung, ia dung sirang songon naginaung-gaung.
8. Madungdung bulung godang tu dangka ni bulu suraton, marunung namarroha molo adong uli buaton.
9. Partungkot mundi-mundi, parsoban hau halak, Parroha sibuni-buni pa ago-ago halak.
10. Ia arian martali-tali nabontar, ia borngin martali-tali narara. (ia dompak sarupa jolma ia tundal sarupa begu.)
11. Sampilpil di pudina haramonting di jolona, sude halak magigi dibahen pangalahona.
12. Tanduk ni lombu tanduk ni lombu silepe, molo monang marjuji sude sidok lae ia talu sude mambursik be.
13. Najumpang gabe natinangko molo so malo, natinangko gabe najumpang molo malo.
14. Taos rampe ni hajut, ditunjang ampapaluan, mate parjuji talu ndang adong ni andungan, andungan i annon sotung ro utang taguhan, soandungan i anon dang diboto dongan salumban.

UMPAMA PINSANG-PINSANG

1 Siguris lapang ni begu.
2 Sipansur ni aek nilatong.
3 Sipultak pura-pura siusehon pargotaan.
4 Siallang indahan ni begu.
5 Siallang sian toru ni rere.
6 Dompak sarupa jolma tundal sarupa begu.
7 Binarbar simartolu langkop ni panutuan.
8 Situlluk namardai, sidilati panutuan.
9 Partiang latong, hau joring parira, partangkula nabara. (Panirisanna pe malala bagasna pe malala.)
10 Sidegehon papan namungkal, sitangkup ihurni hoda pudi.
11 Sitahopi api songon ulok dari.
12 Sitortori na so gondangna.
13 Sihohari ranggiting.
14 Bintatar pandidingan, simartolu parhongkomna, sidok hata hagigihan soada hinongkopna.
15 Sirotahi pangananna.
16 Poring sitorban dolok, manuk sisudahon.
17 Sisopsop rentengna.
18 Sibondut ranggas nagaung-gaung.
19 Silompa lali nahabang.
20 Sialap manaruhon.
21 Sibola hau tindang, sipadugu horbo sabara.
22 Sipatubi-tubi manuk, pasalpu-salpu onan.
23 Sitangko bindana.
24 Sipadomu pardebataan tu parsombaonan.
25 Siaji pinagaranna.
26 Soban bulu, dongan musu.
27 Partungkot mundi-mundi, parsoban hau halak, parroha sibuni-buni pa ago-ago halak.
28 Siuntei naigar, siasomi na asom, sisirai na ansim.
29 Tongka dua pungga saparihotan.
30 Gala-gala naso botohon, muruk pe iba adong do hata nasoboi dohonon.

BURA

1. Unggas jala andalu, bungkas jala mabalu.
2. Datu mangan saputna, raut mangan ompuna.
3. Antuk nabegu soro ulu balang.

UMPAMA APUL-APUL

1 Bagot namadung-dung tu pilo-pilo marajar, tading ma nalungun roma na jagar.
2 Porda marungrung mulakma tu songkirna, Horbo manurun mulakna tu barana, hot ma doal di sangkena, pinggan di rangkena.
3 Amani bogot bagit, amani bagot so balbalon, lungun pe nasai laonna i, tuhirasna tu joloan ni arion.
4 Sitorop ma bonana sitoropma nang rantingna, ia torop hahana toropma nang anggina.
5 Sitorop ma bonana sitoropma nang rantingna, torop ma natoropi tu toropma nasopiga.
6 Mangordang di juma tur, manabur di hauma saba, hea do mauli bulung nang pe anak sasada.
7 Malos ingkau rata riang-riang pinatapu-tapu, molo manumpak Debata di ginjang naung tungil olo jadi napu.
8 Naung pardambirbiran, gabe pardantaboan, jolma naung hagigian gabe jadi sihalomoan.
9 Loja siborok manjalahi guluan, sai mutu do rohani jolma manjalahi hangoluan.
10 Sai tiurma songon ari, sai rondangma songon bulan, sai dapot najinalahan tarida naniluluan.
11 Sinepnep mauruk-uruk silanian ma aek toba, nametmet unang marungut-ungut namagodang unang hansit rohana.
12 Magodang ma aek godang di juluan ni aek raisan, mandao ma ianggo holso sai roma parsaulian.
13 Niraprap hodong, tinapu salaon, sinok do mata modom, musu unang adong be si jagaon.
14 Sai tutonggina ma songon tobu, tu assimna songon sira, magodang ma naumetek sai mangomo partiga-tiga.
15 Sirambe nagodang ma tu sirambe anak-anak, gok ma sopo nabolon maruli sopo si anak-anak.
16 Pahibul-hibul tiang patingko-tigko galapang, pamok-mok namarniang pabolon-bolon pamatang.

UMPAMA PANIGATI

1 Nabingkas do botik gaja dibahen botik aili, bingkas si alali dibahen sipinggiri.
2 Nidanggurhon jarum tu napot-pot ndang di ida mata alai diida roha.
3 Dirobean pinggol tubu di nahornop pangidai jorbing anak ni mata natingkos na ni idana.
4 Madung-dung bulu godang tu dangka ni bulu suraton, marunung-unung namaroha molo adong uli buaton.
5 Diihurpas batu tarida oma, molo adong tuhas uasi (gana) alona.
6 Binarbar bagot tarida pangkona, nungnga tangkas dapot dihaol tinangkona.
7 Manuk-manuk hulabu ompan-ompan ni soru, dang pangalangkup jolmai molo di patudu parboru.
8 Dapot do imbo dibahen suarana, tarida ursa dibahen bogasna.
9 Sada sanggar rik-rik, padua sanggar lahi, donganna mar mihim-mihim, jala donganna martahi-tahi.
10 Binarbar rikrik tarida pangko, dos do utang ni parmitmit utang panakko.
11 Aus nabegu adang namalo.
12 Manunjang dibalatuk, marboa di tapian.
13 Nungnga tardege pinggol ni dalan.
14 Masuak sanggar mapopo hadudu.
15 Parraut si etek-etek.
16 Marsanggar-sanggar.
17 Nirimpu soban hape do bulu, nirippu dongan hape musu.
18 Sibalik sumpa sipatundal ni begu.
19 Marbuni-buni tusa di panjaruman. (marbuni hata ditolonan)
20 Disarat hodongna mangihut lambena, sae gorana, lea rohana di pandena.
21 Disuru manaek ditaba di toru.
22 Sarung banua, monsak humaliang bogas, tata natinutungan, marimbulu natinanggoan.
23 Marurat ni langgumgum, marparbue di pandoran, patampak-tampak hundul pulik-pulik hata ni dohan.

PARUHUMAN

1 Dang tarbahen sasabi manaba hau, dang tarbahen tangke mangarambas.
2 Timbang ma daon ni natutu, gana daon ni torpa (daho).
3 Tiris ni hudon tu toru, tiris ni solu do tu ginjang.
4 Naolo manutung-nutung, naolo mangan sirabun, naolo manangko naolo mangan sirabun.
5 Disi pege mago disi manutu-nutu.
6 Disi banggik maneak disi asu martunggu.
7 Ndang bolas manaputi ia soadong bulung, dang bolas mangarahuti ia soadong tali.
8 Andalu sangkotan ni bonang. (manggarar ma natalu, siadapari gogo.)
9 Sisoli-soli uhum, siadapari gogo.
10 Dongan sotarhilala, musu sohabiaran.
11 Asa sibarung doho si bontar andora, tung taranggukkon ho so binoto lapang ni gora.
12 Tu ginjang manjalahi na rumun tu toru manjalahi na tumandol.
13 Tinallik hodong bahen hait-hait ni palia, tagonan na martondong, sian na marsada ina.
14 Buruk-buruk ni saong tu aos-aos ni ansuan, molo gabe taon ingkon olo manggarar utang.
15 Seak-seak borhu madabu tu bonana, tanda ni anak, patureon ni amana.
16 Si idupan do nauli, si saemon do nahurang.
17 Ndang suhat be nunga bira, ndang tuhas be nungnga tarida.
18 Molo adong unsimmu, dada gaol mu mardo, ai molo adong panuhormu, ndada ho pandobo.
19 Rompu tuju, si dua gumo, molo so malo pangulu dapotan duri.
Rompu tuju, sidua gumo, molo malo pangulu dapotan uli.
20 Siuangkap batang buruk, sibarbar na niampolas.
21 Sada umpaka hite, luhut halak marhitehonsa.
22 Lulu anak, lulu tano, lulu boru, lulu harajaon.
23 Simbar dolok sitingko ulu balang, boi tu hasundutan boi tu habinsaran.

HATA ANDUNG

Hata ni andung : Ia mula ni hata andung sian Tuan Sori Mangaraja do i. Alai ido mula ni dungdang, mula ni hata-hata, mula ni saem, parguri-guri si jonggi, parmual sitio-tio, parsagu-sagu nadua sada hundulan, parmombang napitu, nagaram di panggaraman nagurum di pangguruman, natangkas dihata-hata nasungkun di undang-undang. Raja urat ni ubi, raja tiang ni tano nasungsang parmonangan horbo paung ni portibi, natumombang tano Balige. Balige Raja, Balige marpindan-pindan, hamatean ni Niro. Mula ni andung I MINANGSIHON, ima nalaho ibana taripar lautan tu tano Batang Toru mangalului partondung laho manungkun Debata Mulajadi, ala logo ari hatihai, pitu taon lelengna di Toba nabalau.
Songon i muse di namamulung ibana nasa goar ni pulung-pulungan tu tombak, na gabe miak ni parsibasoan, suang i muse nalao ibana tu tano Mandailing, masi ate-ate ni bosi pusu-pusu ni bosi, nagabe surik ni sibaso nabolon i, ima piso solam debata dohot hujur siringis ima nataripar tu si Raja Oloan sian Sibagot Ni Pohan.

HATA NI ANDUNG .-

1 Simanjujung : Ulu
2 Sitarupon : Obuk
3 Sipareon Pinggol
4 Simalolong : Mata.
5 Silumandit : Igung.
6 Simangkudap : Pamangan.
7 Gugut : Ipon.
8 Simangido : Tangan.
9 Siubeon : Butuha.
10 Simanjojak : Pat.
11 Sirimpuron : Jari-jari.
12 Simatombom : Botohon dohot hae-hae.
13 Among parsinuan : Amana parsinuan.
14 Inong namangintubu : Inong niba.
15 Ama namartunas : Ama paidua.
16 Inong namartunas : Inong paidua.
17 Sisumbaon : Pahompu.
18 Ompung sisombaon : Ompung.
19 Tulang/Ibebere : Sibijaon.
20 Silansapon : Lae/Eda.
21 Sinumbane : Namboru/paraman.
22 Nabinalos : Simatua/Hela/Parumaen.
23 Situriak : Panghataion.
24 Simanangi : Parbinegean.
25 Simalongkon : Parnidaan.
26 Silumallan : Ilu/aek.
27 Sitipahon : Ulos.
28 Sitabean : Tujung.
29 Sigumorsing : Mas.
30 Sihumisik : Ringgit.
31 Paiogom : Indahan/Parbue/Eme.
32 Bona ni paigon : Bona ni eme.
33 Sidumuhut : Duhut.
34 Tongani lobangon : Hauma.
35 Sibonggaran : Bonggaran.
36 Silumantahon : Horbo.
37 Silomlom ni robean : Lombu.
38 Sijambe ihur : Hoda.
39 Bulung ni lopian : Biru-biru.
40 Siteuon : Biang.
41 Simarhurup : Manuk.
42 Tongani asean : Jabu bale-bale.
43 Siatukolan : Jabu sopo.
44 Siagalangon : Jabu ruma.
45 Bulu situlison : Jabu ruang tano.
46 Siruminsir : Solu, Kapal, Motor.
47 Silogo-logo : Kapal terbang.
48 Silali piuan : Iaher.
49 Sihais mira : Kapal pemburu.
50 Sibanua rea : Mariam, tomong.
51 Sitengger dibanua : Bodil.
52 Sijambe jalang : Roket.
53 Simaninggal dipea : Bom.
54 Sigargar dolok : Bom atom.
55 Babiat dipittu : Anak na begu.
56 Gompul dialaman : Raja.
57 Parjaga-jaga dibibir pustaha ditoloan : Pamollung.
58 Holi-holi so mansandi parjari-jari so mansohot : Tungkang.
59 Gokkonon botari alapan manogot : Datu/Raja/Tukkang.
60 Toru ni situmalin : Kuburan.
61 Bona ni ubeon : Buha baju.
62 Punsu ni ubeon : Siampudan.
63 Goar soltpe : Panggoaran.
64 Hau sinaiton : Hau/Btng ni namate/ranting.
65 Silumambe hodong : Bagot.
66 Papan narumimbas : Papan ni jabu.
67 Rindang sibalunon : Amak.
68 Dolok simanabun : Dolok.
69 Langit ni sihadaoan : Taripar laut.
70 Urat naibongkion : Dengke.
71 Juhut tinanggoan : Juhut.
72 Sirumantos : Raut, Hujur,giringan.
73 Natoga bulung : Naung tubu.
74 Didadang ari diullus alogo : Dihasiangon.
75 Sirumata bulung : Napuran.
76 Silumambe hodong : Saga-saga.
77 Sirumonggur : Ronggur.
78 Lombang simanamun : Lombang.
79 Suga nasomarpatudu : Honas todos naso marsala.
80 Godung naso marhinambor : Nasomarala.
81 Mansitairon : Manarus.
82 Songon tungko nisolu ganup ni panabian : Leleng marsahit.
83 Mangganupi siarianan, mangganupi sihabornginan : Leleng dipauli.
84 Hatipulan simanjujung, haponggolan simanjojak : Ina namabalu.
85 Hatompasan tataring : Ama namabalu.
86 Mapurpur tuangin nahabang tu alogo : Naso marrindang.
87 Naso martunas : Naso maranak.
88 Siparumpak balatuk soadong pajongjongkon : Napurpur
sisapsap bahal dang adong namangungkap
89 Marsada-sada bulung songon halak nalungun- : Sisada-sada/sada sabutuha
lungunan tandiang nahapuloan
90 Sibane-bane lili so sumungkar : Nalambok.
91 Silumaksa ijur : Uta uta ni tohuk, sira.
92 Mangungkit sibonggaron : Pabalik uma.
93 Mambuat sidumuhut : Marbabo.
94 Sipatuduhon luha sipapatar pangea, tanduk mambu : Nungga gok harorangon
nubu surat manjoloani, sotampil sipasingot
soboi siajaron.
95 Sanjongkal bulu dua dopaan tolong, poga-poga : Sian etek nahansit
diulu pinagodang ni sidangolan
96 Namardingdinghon dolok namarhorihorihon : Taripar dolok simanamun
ombun dilangit sihadaoan Taripar tao silumallan.
97 Lombu-lombu nabidang tula-tula ni hapal, : Tarhirim ibana.
tungkot dinalandit huat-huat dinagolap
98 Hais tujolo tandak tupudi, lombu panguge : Dipajolo anangkonna
horbo panampar

LEGENDA PUTRI NAI MANGGALE



Pada suatu hari Raja Panggana yang terkenal pandai memahat dan mengukir mengadakan pengembaraan keliling negeri. Untuk biaya hidupnya, Raja Panggana sering memenuhi permintaan penduduk untuk memahat patung atau mengukir rumah. Walaupun sudah banyak negeri yang dilaluinya dan banyak sudah patung dan ukiran yang dikerjakannya, masih terasa padanya sesuatu kekurangan yang membuat dirinya selalu gelisah.

Untuk menghilangkan kegelisahannya, ia hendak mengasingkan diri pada satu tempat yang sunyi. Di dalam perjalanan di padang belantara yang penuh dengan alang-alang ia sangat tertarik pada sebatang pohon tunggal yang hanya itu saja terdapat pada padang belantara tersebut. Melihat sebatang pohon tunggal itu Raja Panggana tertegun. Diperhatikannya dahan pohon itu, ranting dan daunnya. Entah apa yang tumbuh pada diri Raja Panggana, ia melihat pohon itu seperti putri menari. Dikeluarkannya alat-alatnya, ia mulai bekerja memahat pohon itu menjadi patung seorang putri yang sedang menari. Ia sangat senang, gelisah hilang. Sebagai seorang seniman ia baru pernah mengagumi hasil kerjanya yang begitu cantik dan mempesona. Seolah-olah dunia ini telah menjadi miliknya. Makin dipandangnya hasil kerjanya, semakin terasa pada dirinya suatu keagungan.

Pada pandangan yang demikian, ia melihat patung putri itu mengajaknya untuk menari bersama. Ia menari bersama patung dipadang belantara yang sunyi tiada orang. Demikianlah kerja Raja Panggana hari demi hari bersama putri yang diciptakannya dari sebatang kayu. Raja Panggana merasa senang dan bahagia bersama patung putri. Tetapi apa hendak dikata, persediaan makanan Raja Panggana semakin habis. Apakah gunanya saya tetap bersama patung ini kalau tidak makan ? biarlah saya menari sepuas hatiku dengan patung ini untuk terakhir kali. Demikian Raja Panggana dengan penuh haru meninggalkan patung itu. dipadang rumput yang sunyi sepi tiada berkawan. Raja Panggana sudah menganggap patung putri itu sebagian dari hidupnya.

Berselang beberapa hari kemudian, seorang pedagang kain dan hiasan berlalu dari tempat itu. Baoa Partigatiga demikian nama pedagang itu tertegun melihat kecantikan dan gerak sikap tari patung putri itu. Alangkah cantiknya si patung ini apabila saya beri berpakaian dan perhiasan. Baoa Partigatiga membuka kain dagangannya. Dipilihnya pakaian dan perhiasan yang cantik dan dipakaikannya kepada patung sepuas hatinya.

Ia semakin terharu pada Baoa Partigatiga belum pernah melihat patung ataupun manusia secantik itu. dipandanginya patung tadi seolah-olah ia melihat patung itu mengajaknya menari. Menarilah Baoa Partigatiga mengelilingi patung sepuas hatinya. Setelah puas menari ia berusaha membawa patung dengannya tetapi tidak dapat, karena hari sudah makin gelap, ia berpikir kalau patung ini tidak kubawa biarlah pakaian dan perhiasan ini kutanggalkan. Tetapi apa yang terjadi, pakaian dan perhiasan tidak dapat ditanggalkan Baoa Partigatiga. Makin dicoba kain dan perhiasan makin ketat melekat pada patung. Baoa Partigatiga berpikir, biarlah demikian. Untuk kepuasan hatiku baiklah aku menari sepuas hatiku untuk terakhir kali dengan patung ini. Iapun menari dengan sepuas hatinya. Ditinggalkannya patung itu dengan penuh haru ditempat yang sunyi dan sepi dipadang rumput tiada berkawam.

Entah apa yang mendorong, entah siapa yang menyuruh seorang dukun perkasa yang tiada bandingannya di negeri itu berlalu dari padang rumput tempat patung tengah menari. Datu Partawar demikian nama dukun. Perkasa terpesona melihat patung di putri. Alangkah indahnya patung ini apabila bernyawa. Sudah banyak negeri kujalani, belum pernah melihat patung ataupun manusia secantik ini. Datu Partawar berpikir mungkin ini suatu takdir. Banyak sudah orang yang kuobati dan sembuh dari penyakit. Itu semua dapat kulakukan berkat Yang Maha Kuasa.

Banyak cobaan pada diriku diperjalanan malahan segala aji-aji orang dapat dilumpuhkan bukan karena aku, tetapi karena ia Yang Maha Agung yang memberikan tawar ini kepadaku. Tidak salah kiranya apabila saya menyembah Dia Yang Maha Agung dengan tawar yang diberikannya padaku, agar berhasil membuat patung ini bernyawa. Dengan tekad yang ada padanya ini Datu Partawar menyembah menengadah keatas dengan mantra, lalu menyapukan tawar yang ada pada tangannya kepada patung. Tiba-tiba halilintar berbunyi menerpa patung. Sekitar patung diselimuti embun putih penuh cahaya.

Waktu embun putih berangsur hilang nampaklah seorang putri jelita datang bersujud menyembah Datu Partawar. Datu Partawar menarik tangan putri, mencium keningnya lalu berkata : mulai saat ini kau kuberi nama Putri Naimanggale. Kemudian Datu Partawar mengajak Putri Naimanggale pulang kerumahnya. Konon kata cerita kecantikan Putri Naimanggale tersiar ke seluruh negeri. Para perjaka menghias diri lalu bertandang ke rumah Putri Naimanggale. Banyak sudah pemuda yang datang tetapi belum ada yang berkenan pada hati Putri Naimanggale.

Berita kecantikan Putri Naimenggale sampai pula ketelinga Raja Panggana dan Baoa Partigatiga. Alangkah terkejutnya Raja Panggana setelah melihat Putri Naimanggale teringat akan sebatang kayu yang dipahat menjadi patung manusia. Demikian pula Baoa Partigatiga sangat heran melihat kain dan hiasan yang dipakai Putri Naimanggale adalah pakaian yang dikenakannya kepada Patung, Putri dipadang rumput. Ia mendekati Putri Naimanggale dan meminta pakaian dan hiasan itu kembali tetapi tidak dapat karena tetap melekat di Badan Putri Naimanggale. Karena pakaian dan hiasan itu tidak dapat terbuka lalu Baoa Partigatiga menyatakan bahwa Putri Naimanggale adalah miliknya. Raja Panggana menolak malahan balik menuntut Putri Naimanggale adalah miliknya karena dialah yang memahatnya dari sebatang kayu.

Saat itu pula muncullah Datu Partawar dan tetap berpendapat bahwa Putri Naimanggale adalah miliknya. Apalah arti patung dan kain kalau tidak bernyawa. Sayalah yang membuat nyawanya maka ia berada di dalam kehidupan. Apapun kata kalian itu tidak akan terjadi apabila saya sendiri tidak memahat patung itu dari sebatang kayu. Baoa Partigatiga tertarik memberikan pakaian dan perhiasan karena pohon kayu itu telah menajdi patung yang sangat cantik. Jadi Putri Naimanggale adalah milik saya kata Raja Panggana. Baoa Partigatiga balik protes dan mengatakan, Datu Partawar tidak akan berhasrat membuat patung itu bernyawa jika patung itu tidak kuhias dengan pakaian dan hiasan. Karena hiasan itu tetap melekat pada tubuh patung maka Raja Partawar memberi nyawa padanya. Datu Partawar mengancam, dan berkata apalah arti patung hiasan jika tidak ada nyawanya ? karena sayalah yang membuat nyawanya, maka tepatlah saya menjadi pemilik Putri Naimanggale.

Apabila tidak maka Putri Naimanggale akan kukembalikan kepada keadaan semula. Raja Panggana dan Baoa Partigatiga berpendapat lebih baiklah Putri Naimanggale kembali kepada keadaan semula jika tidak menjadi miliknya. Demikianlah pertengkaran mereka bertiga semakin tidak ada keputusan. Karena sudah kecapekan, mereka mulai sadar dan mempergunakan pikiran satu sama lain. Pada saat yang demikian Datu Partawar menyodorkan satu usul agar masalah ini diselesaikan dengan hati tenang didalam musyawarah. Raja Panggana dan Baoa Partigatiga mulai mendengar kata-kata Datu Partawar. Datu Partawar berkata : marilah kita menyelesaikan masalah ini dengan hati tenang didalam musyawarah dan musyawarah ini kita pergunakan untuk mendapatkan kata sepakat. Apabila kita saling menuntut akan Putri Naimanggale sebagai miliknya saja, kerugianlah akibatnya karena kita saling berkelahi dan Putri Naimanggale akan kembali kepada keadaannya semula yaitu patung yang diberikan hiasan. Adakah kita didalam tuntutan kita, memikirkan kepentingan Putri Naimanggale? Kita harus sadar, kita boleh menuntut tetapi jangan menghilangkan harga diri dan pribadi Putri Naimanggale. Tuntutan kita harus kita dasarkan demi kepetingan Putri Naimanggale bukan demi kepentingan kita. Putri Naimanggale saat sekarang ini bukan patung lagi tetapi sudah menjadi manusia yang bernyawa yang dituntut masing-masing kita bertiga. Tuntutan kita bertiga memang pantas, tetapi marilah masing-masing tuntutan kita itu kita samakan demi kepentingan Putri Naimanggale.

Raja Panggana dan Baoa Partigatiga mengangguk-angguk tanda setuju dan bertanya apakah keputusan kita Datu Partawar ? Datu Partawar menjawab, Putri Naimanggale adalah milik kita bersama. Mana mungkin, bagaimana kita membaginya. Maksud saya bukan demikian, bukan untuk dibagi sahut Datu Partawar. Demi kepentingan Putri Naimanggale marilah kita tanyakan pendiriannya. Mereka bertiga menanyakan pendirian Putri Naimanggale. Dengan mata berkaca-kaca karena air mata, air mata keharuan dan kegembiraan Putri Naimanggale berkata : “Saya sangat gembira hari ini, karena kalian bertiga telah bersama-sama menanyakan pendirian saya.

Saya sangat menghormati dan menyayangi kalian bertiga, hormat dan kasih sayang yang sama, tiada lebih tiada kurang demi kebaikan kita bersama. Saya menjadi tiada arti apabila kalian cekcok dan saya akan sangat berharga apabila kalian damai. Mendengar kata-kata Putri Naimanggale itu mereka bertiga tersentak dari lamunan keakuannya masing-masing, dan memandang satu sama lain. Datu Partawar berdiri lalu berkata : Demi kepentingan Putri Naimanggale dan kita bertiga kita tetapkan keputusan kita :
a. Karena Raja Panggana yang memahat sebatang kayu menjadi patung, maka pantaslah ia menjadi Ayah dari Putri Naimanggale. SUHUT
b. Karena Baoa Partigatiga yang memberi pakaian dan hiasan kepada patung, maka pantaslah ia menjadi Amangboru dari Putri Naimanggale. BORU
c. Karena Datu Partawar yang memberikan nyawa dan berkat kepada patung, maka pantaslah ia menjadi Tulang dari Putri Naimanggale. HULA-HULA
Mereka bertiga setuju akan keputusan itu dan sejak itu mereka membuat perjanjian, padan atau perjanjian mereka disepakati dengan :

Pertama, bahwa demi kepentingan Putri Naimanggale Raja Panggana, Baoa Partigatiga dan Datu Partawar akan menyelesaikan semua permasalahan yang terjadi dan mungkin terjadi dengan jalan musyawarah.
Kedua, bahwa demi kepentingan Putri Naimanggale dan turunannya kelak, Putri Naimanggale dan turunannya harus mematuhi setiap keputusan dari Raja Panggana, Baoa Partigatiga dan Datu Partawar.

Demikian legenda PUTRI NAI MANGGALE yang menggambarkan (turi-turian) asal muasal DALIHAN NA TOLU didalam kekerabatan Batak.
Dari cerita tersebut, bahwa hakikat DNT adalah musyawarah untuk menyelesaikan masalah demi kebaikan orang yang dikasihi dalam hal ini PUTRI NAI MANGGALE

Si Boru Natumandi



Dahulu kala sewaktu penduduk yang mendiami Rura (Lembah) Silindung masih memeluk kepercayaan Sipelebegu, hiduplah seorang Raja yang kaya, besar dan bersahaja. Mereka hidup dengan damai di sebuah huta di tepi sungai Aek Situmandi yang bersih dan jernih. Tempat tinggal raja itu berada di seberang Huta Siparini sekarang. Huta Siparini terletak di kaki Dolok (Gunung) Siatas Barita. Dolok Siatas Barita adalah tempat “Pamelean” keturunan Guru Mangaloksa sewaktu belum masuk agama Kristen ke Rura Silindung.

Walaupun Dolok Martimbang lebih tinggi dari Dolok Siatas Barita, itu tidak masalah bagi mereka karena guru Mangaloksa pertama sekali mendirikan huta di kaki Dolok Siatas Barita. Dari sanalah awalnya guru Mangaloksa bersama keturunannya mendiami seluruh Rura Silindung. Oleh karena itu, Dolok Siatas Barita merupakan tempat “Dolok Parsaktian” bagi keturunan Guru Mangaloksa sekaligus menjadi tempat Pamelean zaman dahulu.
Terkabarlah Raja ini karena kekayaannya, kebesaran dan kebersahajaannya. Semua tanaman-tanaman diladang maupun disawah berlimpah ruah, bahkan tempat penyimpanan yakni “Sopo” tidak bisa lagi menampungnya. Begitu juga dengan ternaknya ( kerbau dan babi ) berlimpah. Sang Raja tinggal di “Rumah Batak” Tetapi lebih terkenal lagi raja ini karena kecantikan putrinya yang bernama Si Boru Natumandi .



Banyak anak-anak raja yang ingin menjadikan siboru Natumandi menjadi istrinya. Kabar mengenai kecantikan siboru Natumandi sudah tersebar ke “Desa Naualu”. Keindahan tubuh yang semampai, keindahan matanya yang teduh, senyum dan tertawanya yang membuat hati damai, kecantikan wajahnya yang mempesona, rambutnya bagaikan mayang terurai sampai ketumitnya, cara bicaranya yang lemah lembut dan sopan, perilakunya membanggakan orang tua dalam bermasyarakat, dan cara berpakaiannya juga sangat sopan. Tidak ada seorangpun yang melebihi karisma yang dimilikinya bahkan diantara kawan-kawan putri-putri raja yang seumuran denganya di Desa Naualu. Tidak hanya itu, dia pandai mengambil hati kedua orang tuanya, sangat terampil manortor (Tari-tarian suku batak) serta penenun yang handal dan rajin.

Banyak raja-raja dari toba, samosir, humbang, pos-pos, dan angkola datang kepada raja itu untk meminang raja Siboru natumandi menjadi “Parumaennya” (menantunya). Siboru natumandi sangat pandai mengambil hati orang tuanya, sehingga dia putri kesayangan ayah ibunya. Karena itu, sewaktu raja-raja datang meminang Si Boru Natumandi jadi parumaennya, raja hanya menjawab yakni : molo mangoloi borukku, sipanolopi ma ianggo hami ( kalau putriku mau menerima, kami orang tuanya merestuinya).

Mendengar jawaban raja itu, maka semua raja-raja yang mau meminang Si Boru Natumandi menyuruh anak-anaknya menjumpai Si Boru Natumandi untuk meminta agar dia mau jadi istrinya.

Sungguh lemah lembut jawaban Si Boru Natumandi pada anak-anak raja yang datang menjumpainya. Si Boru Natumandi sangat senang menyambut kedatangan anak-anak raja itu. Bahkan mereka disuguhkan dengan makanan yang lezat dan nikmat. Setelah selesai makan dia memberikan jawaban kepada raja tersebut.

Anak-anak raja yang datang tidak bisa tenang, mereka selalu penasaran, hati mereka selalu berdebar-debar, apakah saya diterima? kalimat tersebut yang selalu ada dalam pikiran mereka. Kalau tidak diterima kenapa harus repot-repot memasak, menyuguhkan makanan yang nikmat dan lezat dengan pelayanan yang memuaskan pada saya. Itulah yang menghantui pikiran anak-anak raja setip kali datang meminang. Wajahnya selalu tersenyum tidak menunjukkan ketidak sukaan pada setiap anak-anak raja yang datang. Hal tersebut juga membuat hati setiap anak-anak raja yang datang menjadi gusar dan bertanya-tanya sampai-sampai lupa pada makanan yang disuguhkan itu.

Perasaan ayah dan ibu Si Boru Natumandi ikut juga tidak tenang menunggu jawaban yang diberikan putrinya pada anak-anak raja yang datang itu. Mereka sangat berharap agar putrinya mau menerima salah satu lamaran dari anak raja yang datang itu.

Setelah selesai makan, S Boru Natumandi memberikan jawabannya kepada anak-anak raja yang datang itu dengan sopan dan lemah lembut dia mengatakan : ‘mauliate ma diharoromuna na tu ahu, alai mulak ma hamu ai ndang lomo do pe rohakku mar hamulian’. (terimakasih karena telah datang menjumpai saya, tapi pulanglah kalian, karena saya belum ingin menikah/berumah tangga).

Bagaikan ‘Porhas na manoro di siang ari’ (bagaikan petir yang menyambar di siang hari) perasaan hati anak-anak raja mendengar perkataan Si Boru Natumandi yang singkat itu. Perasaan mereka lemas tak berdaya, tak sanggup lagi menjejakkan kakinya ke atas tanah karena mendengar jawaban tersebut.

Seperti itulah jawaban yang di berikan Si Boru Natumandi kepada setiap anak-anak raja yang datang melamarnya. Sungguh lemah lembut perkataannya, pelayanannya sangat sopan dan baik. Tapi jawabannya yang singkat itu bagaikan disembelih dengan sembilu, sungguh menusuk jantung.

Biasanya setelah anak-anak raja yang datang menjumpai Si Boru Natumandi pulang, kedua orang tua Si Boru Natumandi langsung menanyakan apakah putrinya itu sudah menerima salah satu lamaran dari anak-anak raja yang datang tersebut? Tapi jawaban yang diberikan Si Boru Natumandi selalu sama yakni: ‘dang lomo do pe rohakku mar hamulian amang-inang’ (ayah-ibu saya masih belum mau menikah).

Seperti itu juga raja-raja yang menyuruh anak-anaknya datang menjumpai Si Boru Natumandi mereka selalu bertanya-tanya. Setiap anaknya pulang dari rumah Si Boru Natumandi mereka langsung menanyakan: ‘beha do amang, di jalo do hatami? Asa manigor borhat hami mangarangragi’ (“Bagaimana nak, apakah lamaranmu diterima?” Supaya kita langsung berangkat menjumpai orang tuanya). Tapi dari pancaran wajah si anak yang lesu tidak bersemangat, mereka sudah tahu bahwa anak mereka tidak di terima Si Boru Natumandi. Semua raja-raja yang menyuruh anaknya itu menjumpai Si Boru Natumandi bertanya-tanya: ‘na behado ulaning, na hurang mora do pe au, nahurang do hasangapon hu?’ (apa gerangan yang terjadi, apakah saya kurang kaya, apakah saya kurang bersahaja?) Padahal kekayaan dan kehormatan saya bahkan sangat melebihi orang tua si perempuan, kata hati setiap raja-raja yang mengirim anaknya menjumpai Si Boru Natumandi.

Siang berganti malam, hari berganti minggu, bulan berganti tahun tetapi , jawaban yang diberikan Si Boru Natumandi selalu sama kepada setiap anak-anak raja yang datang melamarnya. Ayah dan Ibunya sedih sebab terdengar berita bahwa raja-raja yang menyuruh anaknya menjumpai Si Boru Natumandi merasa dikecilkan dan mereka sakit hati. Padahal anak-anak raja tersebut tidak memiliki kekurangan bahkan bisa dikatakan sudah sempurna, wajah mereka tampan, kaya dan jug berkedudukan. Tetapi kedua orang tua Si Boru Natumandi bingung dan bertanya-tanya dalam hatinya. Apa sebenarnya yang dipikirkan Si Boru Natumandi?

Kadang-kadang hati kedua orang tua Si Boru Natumandi sedih memikirkan itu, tapi mereka tidak mau memaksakan kehendak, takut putrinya tersinggung, sedih atau menangis, mereka juga takut putrinya nanti sakit hati pada mereka. Karena Pada dasarnya marga Hutabarat sangat baik dan sayang pada anak perempuannya, bahkan sampai sekarang pun bisa kita lihat dalam kehidupan sehari- hari dan boru Hutabarat sangat baik marhula-hula.

Ada kebiasaan sehari-hari Si Boru Natumandi yakni: dia tidak suka martua aek dan mandi bersama teman-teman sebayanya di sungai. Dia suka martua aek dan mandi di siang hari. Biasanya diwaktu mandi dia marhatobung di sungai. Setiap dia marhatobung, selalu terdengar sampai ke kampung, ladang dan sawah. Bahkan orang yang bekerja di sawah dan di ladang menghentikan pekerjaanya hanya untuk mendengar hatobung Si Boru Natumanding. Entah kenapa, semua hasil pekerjaan Si Boru Natumandi lain daripada yang lain. Seperti hasil tenunannya sangat cantik dan indah lain dari tenunan putri-putri raja. Setiap orang memegang tenunannya, sepertinya ada satu kekuatan yang tidak nampak dan mampu menarik hati orang untuk membelinya. Masakannya juga enak dan selalu nikmat, apa yang dikerjakannya selalu cocok bagi orang yang melihatnya.

Banyak orang bertanya-tanya dalam hati mereka tentang kelebihan yang dimiliki Si Boru Natumandi terutama para tua-tua, dan kelebihan itu tidak membawa keburukan sehingga membuat kaum muda dan orang tua tidak melanjutkan pertanyaan yang selama ini mereka tanyakan dalam hati mereka.

Disuatu hari, ibunya mendengar Si Boru Natumandi sedang berbicara di tempat dia menenun. Ibunya mendekat dan ingin melihat siapa teman putrinya berbicara. Si Boru Natumandi sangat serius berbicara sambil mengerjakan tenunannya. Dari pembicaraan itu terdengar suara seorang pemuda yang menemani putrinya. Terkadang Si Boru Natumandi tersenyum malu, dan kadang-kadang bukan dia yang menenun tenunannya. Ibunya terkejut melihat kejadian itu, sebab di sekeliling tempat putrinya bertenun tidak ada orang yang sedang berbicara dengannya.

Dihapusnya wajah dan dadanya, lalu si ibu tersadar setelah melihat kejadian aneh yang menimpa putrinya. Dia bertanya dalam hatinya “apakah saya sedang bermimpi?” “tapi saya tidak tidur”. Dia kembali melihat putrinya itu, tetapi tetap saja sama seperti yang pertama dilihatnya itu.

Setelah beberapa hari kemudian dia memberitahukan kejadian aneh yang menimpa putrinya itu pada suaminya. “Bibir saya bukan diretak panas……?” (Apa yang saya katakan itu benar) “Saya melihatnya dengan mata kepala saya sendiri!” Ujar sang ibu kepada suaminya. Tetapi raja itu tidak menanggapi celotehan istrinya dan juga tidak menanggapi kejadian aneh yang menimpa putrinya itu dengan serius. Malah sang raja menjawab , “ah, atik tung na marnipi do ho boru ni raja nami, nabisuk marroha do borunta i, sodung disurahan pangalahona, tung heama i ?” ( “ah, mungkin dinda sedang bermimpi, putri kita kan orangnya sopan, dan dia tidak pernah berbuat hal-hal yang yang buruk) Akhirnya kedua orang tuanya tidak mempertanyakan masalah itu lagi.

Mungkin Si Boru Natumandi sudah jatuh cinta pada pemuda yang datang menjumpainya itu, sebab disuatu hari dia memberitahukan kepada kedua orang tuanya bahwa dia sudah menemukan pemuda pujaan hatinya. Orang tuanya sangat senang mendengarkan apa yang diberitahukan putrinya.

Biasanya, jika seorang putri sudah menemukan tambatan hatinya. Sudah lumrah bagi orang tuanya untuk menanyakan perihal pemuda yang menjadi tambatan hati putrinya. Bagaimana kelahirannya, bagaimana keadaan keluarganya, bagaimana kekayaannya, dan masih banyak lagi yang akan ditanyakan orang tua pada putrinya perihal pemuda yang menjadi tambatan hatinya. Supaya nantinya putrinya bahagia dan tidak terlantar, serta menantu itu nantinya bisa menjadi kawan yang dapat diandalkan di waktu terjadi hal-hal yang tidak diingainkan terlebih waktu berperang.

Si Boru Natumandi memberitahukan perihal idamannya kepada orang tuanya yakni: “na pat ni gaja tu pat ni hora, pahompu na raja jala anakni na mora do na manopot ibana” (cucu raja serta anak orang kaya yang sedang melamar dia).” Pemuda yang melamar saya adalah pemuda yang baik, berhati bersih, bertanggung jawab dan dia anak raja, kata Siboru Natumandi pada kedua orang tuanya dengan kegembiraan yang terpancar pada pada raut wajahnya. Melihat kegembiraan putrinya itu, kedua orang tuanya tahu bahwa Siboru Natumandi sudah serius menerima lamaran yang datang dari pemuda itu. Kerinduan mereka sudah terpenuhi, sehingga mereka ikut bergembira mendengar kabar tersebut dan mereka berkata: ” ba molo songoni do inang patandahon majo tu hami asa dohot hami mamereng nanaeng ga besirongkap ni tondi mi” (kalau memang seperti itu, pertemukanlah kami padanya, supaya kami dapat melihat pemuda yang menjadi teman hidupmu nanti).


Disuatu hari Siboru Natumandi mempertemukan pemuda itu kepada orang tuanya. Sungguh tampan dia, cara berpakaiannya menunjukkan dia keturunan seorang raja yang bersahaja, bentuk badannya seperti “ulubalang”. Tidak berselang beberapa lama, pemuda itu tiba- tiba menghilang bersamaan kedipan mata kedua orang tua Si Boru Natumandi . Tiba- tiba mereka melihat seekor ular keluar dari rumah mereka. “Apa yang terjadi ?” Kata ayah Si Boru Natumandi: “pasada ma roha dohot pikkiran mu amang , jala sonang ma roha muna paborhatton ahu marhamulian tu silomo ni rohakku” (satukan hati dan pikiranmu ayah, relakan hati kalian memberangkatkan saya memilih pemuda yang menjadi teman hidupku nanti). Kedua orang tuanya terdiam tidak bisa berbicara apa-apa, karena Si Boru Natumandi putri yang sangat mereka sayangi dan kasihi.

Pada suatu hari, Si Boru Natumandi memberitahukan kepada orang tuanya perihal keberangkatannya dan tentang apa saja yang akan mereka kerjakan setelah dia berangkat dari rumah nanti. Hal-hal yang akan mereka kerjakan dan yang perlu diperhatikan adalah:

1. Mereka tidak perlu membuat pesta pemberangkatan, baru setelah 7 hari kemudian baru dibuat pesta yang besar sebab “sinamot” yang akan diberikan cukup besar.

2. Seperti sinamot dari pihak laki- laki, mereka akan meninggalkannya di suatu tempat dengan jumlah 7 “ampang”. Sebelum 7 hari 7 malam ampang itu tidak bisa dibuka oleh siapapun.

3. Setelah 7 hari 7 malam ampang itu baru bisa dibuka dan didalamnya akan terisi emas, itulah yang menjadi sinamot kami.

4. Dalam waktu 7 hari itu setelah kami berangkat, kami akan mengantar “pinahan” untuk dimakan, dan pada waktu pesta itu kami akan mengantar kerbau sebagai “panjuhuti”.

5. Tempat tinggal kami nantinya sangat jauh, kalian ikuti saja “sobuan” yang saya jatuhkan mulai dari depan rumah kita. Dimana sobuan itu nantinya berakhir, sampai disitulah kalian mengikuti saya, sebab jalan yang saya lalui harus melalui sebuah gua yang ujungnya sampai ke daerah Toba dan bercabang ke daerah Penabungan.

Kedua orang tua si Boru Natumandi hanya diam mendengar semua yang dikatakan putrinya itu. Mereka hanya pasrah dan menyerahkan semuanya kepada “Mulajadi Nabolon“.

Setelah tiba waktu keberangkatan Si Boru Natumandi, lalu dia memasak makanan yang lezat mulai dari pagi hari sampai sore hari. Setelah semuanya siap mereka berdua makan bersama, kedua orang tua si Boru Natumandi melihat putrinya sedang makan bersama pemuda yang pernah mereka lihat waktu itu.

Sesudah mereka selesai makan, kemudian orang tuanya melihat mereka lagi tetapi si Boru Natumandi dan pemuda itu tidak ada lagi di tempat mereka makan. Lenyap seperti ditelan bumi, orang tuanya melihat makanan yang tersaji itu tidak berkurang sedikitpun dan sudah dingin seperti sudah lama ditinggalkan.

Pagi-pagi buta, ibu Si Boru Natumandi bangun bersama ibu-ibu lain melihat sobuan tersebut dan mengikutinya seperti yang di pesankan Si Boru Natumandi pada ibunya. Mereka mengikuti sobuan itu hingga sampai di depan mulut sebuah gua yang berada di tepi Aek Situmandi dekat aek rangat. Mereka memberanikan diri memasuki gua tersebut, tetapi karena terlalu gelap mereka memutuskan untuk tidak meneruskannya terlalu dalam lagi. Mereka pulang dan memberitahukan kejadian tersebut. Kabar itu langsung tersebar di seluruh Lembah Silindung.

Setelah matahari terbit dari atas Dolok Siatas barita, sampailah ke huta itu beberapa ekor “aili” yang besar-besar dan gemuk. Sepertinya ada yang menyuruh mereka turun dari hutan menuju Dolok Siatas Barita. Semua aili itu jinak dan tidak meronta sewaktu ditangkap dan disembelih oleh orang-orang kampung untuk digunakan pada acara pesta. Seperti itulah terus menerus aili turun dari hutan di atas Dolok Siatas Barita selama 7 hari, sampai-sampai semua orang yang datang ke acara pesta itu membawa sebagian dagingnya ke kampung masing-masing.

Mungkin sudah kemauan Tuhan Yang Maha Esa, sebab sebelum digenapi 7 hari 7 malam beberapa orang dari keluarga dekat si Boru Natumandi secara diam-diam mengintip isi ampang itu. Padahal Siboru Natumandi sudah memberitahukan bahwa ampang itu tidak bisa di buka oleh siapapun sebelum tergenapi hari yang dijanjikannya. Mereka melihat isi ampang itu hanya sobuan yang sudah mulai menggumpal seperti emas di dalamnya.

Setelah kejadian itu,ayah dan ibu Si Boru Natumandi bermimpi. Mereka didatangi putrinya dan memberitahukan bahwa sudah ada yang melihat ampang yang telah dipesannya itu. Ampang dan isinya sudah hambar sebab pesannya sudah dilanggar.

Melihat semua kejadian yang menimpa keluarga dan putrinya, maka raja tersebut mengumpulkan semua raja-raja, tua-tua kampung dan semua penduduk Hutabarat berkumpul “martonggo” ke Mulajadi Na Bolon “Tung naso jadi ma Boru Hutabarat nauli molo marhasohotan tu “Ulok” (Tidak akan pernah ada lagi boru Hutabarat yang cantik rupawan kalau jadinya kawin sama ular).

Disini kami menegaskan bahwa asumsi masyarakat selama ini tentang si Boru Natumandi (semua boru Hutabarat saat ini) yang sombong adalah salah, dimana menurut cerita selama ini bahwa secantik apapun boru Hutabarat pasti ada cacatnya. Banyak marga Hutabarat membeberkan hal tersebut, tetapi perlu digaris bawahi itu terjadi bukan karena kesombongan namun karena sumpah leluhurnya tersebut.

Namun semua itu dikembalikan kepada penilaian kita masing-masing, kalau kita tinjau dari segi agama mungkin sangat bertolak belakang. Agama pada dasarnya membenarkan suatu kejadian yang benar-benar terjadi bukan rekaan. Kita bisa membacanya dari kitab yang kita yakini sesuai dengan agama yang kita anut. Tetapi walaupun demikian kita tidak bisa menyalahkan budaya Batak terutama pada zaman dahulu. Zaman dahulu masyarakat Silindung masih mempercayai legenda atau cerita rakyat yang bersifat anonim bukan hanya cerita “Si Boru Natumandi”, masih ada legenda lainnya yang dipercayai orang Batak seperti “Terjadinya Danau Toba di Samosir”. Sedangkan zaman sekarang yang diperlukan adalah perkembangan sumber daya manusia (pendidikan/keterampilan) berdasarkan moral religius dan etika. Oleh karena itu, dari segi agama maupun budaya kita bisa memilah mana yang bisa kita terima secara logika.

Glossary:
[1] Sipelebegu, orang kafir, pemuja nenek moyang, penyembah arwah

[2] Sumber mengatakan Raja itu bernama Raja Ama Natidar. Raja Ama Natidar mempunyai 2 orang putra yaitu: Raja Natidar dan Tuan Jabut serta seorang putri yang cantik rupawan yang bernama Si Boru Natumandi

[3] Huta, desa, kota; marhuta, berkediaman di kampung; marhuta sada, berjalan-jalan, tidak tinggal di kampung, keluar kota, bepergian; huta sabungan, ibu kota, kampung induk; parhutaan, pemukiman, perkampungan; pardihuta, bini, isteri, yang bertugas di desa, (lawan parbalian); tarhuta, diketahui orang didesa bahwa orang berutang banyak; marhutahuta, mainan anak-anak bangun kampung-kampungan; raja hutam sesepuh kampung; Huta Raja, Huta Talun, Huta Pea, nama desa, nama kampung. Sumber mengatakan kampung itu bernama Banjar Nahor. Tahun 1985 kampung itu berganti nama menjadi Banjar Nauli. Hanya ada 2 kampung pada masa itu yakni Hutabagasan dan Banjar Nahor

[4] Aek Situmandi. Nama sebuah sungai di daerah Hutabarat Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara. Bentuk sungai sudah besar dan jalurnya sudah berubah.

[5] Pele kata dasar, mamele, umpele, menyajikan, mempersembahkan sajian, kurban kepada dewata atau roh; mamelehon, mempersembahkan sebagai kurban; pelean, persembahan, kurban sajian; mamele begu, memberi persembahan kepada nenek moyang, kepada roh-roh, menyembah roh; sipelebegu, orang kafir, pemuja nenek moyang, penyembah arwah. Dahulu Dolok Siatas Barita adalah tempat Penyembahan keturunan Guru Mangaloksa.

[6] Dolok Parsaktian.Dolok, gunung, pegunungan; dolokdolok, bukit, perbukitan; pardolok, penduduk gunung, juga: terletak di gunung; pardolohan, pegunungan.Di daerah Toba ada juga Dolok yang sama seperti Dolok Siatas Barita yang dijadikan masyarakat Balige dan sekitarnya menjadi tempat pamelean mereka yaitu Dolok Tolong

[7] Sopo, lumbung padi, di bawah atap disimpan padi, di ruang terbuka tempat menerima tamu serta tempat mengadakan pertemuan, di atas juga tidur para pemuda.

[8] Ulubalang. Kata dasar Ulu, kepala; ulu ni timbaho, ujung lempeng tembakau yang paling enak rasanya; ulu ni rihit, gosong, busung pasir; P.B.: madungdung bulu godang tu dangka ni bulu suraton, molo mardomu angka na bolon, adong do ulu buaton, bambu besar menyentuh bambu kecil, manakala orang-orang besar bertemu pasti akan ada korban; manguluhon, memimpin perkara; pangulu, penengah antara dua pihak; pangulului, telah melihat setengah jalan (matahari); na pangului, jam 09.00 pagi; ulubalang, hulubalang, pendekar; ulubalang ari = hasiangan on;pangulubalang, patung kecil yang dipuja yang dimasukkan sedikit pupuk; hauluan = haulian = ulu, hauluan, tanda”i” dalam tulisan Batak: juga haulian; paulubalanghon, disewa sebagai hulubalang[1] Sinamot. Mas Kawin[1] Ampang, bakul yang dianyam di bawah, berbentuk empat segi dan di atas bundar, juga dipakai sebagai takaran beras atau padi; parampangan, bakul besar dimana di dalamnya disimpan bakul-bakul kecil; na marampang na marjual, = na marpatik na maruhum, seseorang yang memakai takaran dengan baik